Oleh: Lantun Paradhita Dewanti, S.Pi., M.EP (Kepala Laboratorium Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Padjadjaran)
Sejalan dengan diluncurkannya kebijakan Ekonomi Biru oleh Bappenas RI, bahwa kerangka pembangunan Ekonomi Biru merupakan penjabaran dari amanat RPJPN 2005-2025, khususnya mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat, maju, dan tangguh melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, serta RPJMN 2020-2024 yang menekankan pentingnya pengelolaan kelautan dengan baik untuk mencapai agenda pembangunan berkelanjutan.
Arah pembangunan nasional yang saat ini salah satunya berkiblat kepada payung Sustainable Development Goals (SDGs) menuntut pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Penangkapan ikan terukur memiliki misi dalam menjaga kelestarian ekologi dan menjamin pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hal ini mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 14 mengenai “life below water” yang bertujuan untuk mengelola serta melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan.
Sumberdaya ikan di laut yang bersifat common property hal ini memiliki memiliki dualisme perspektif. Artinya bisa menjadi milik bersama yang dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh publik atau sebaliknya, bukan milik siapa-siapa artinya tidak ada orang yang merasa bertanggungjawab untuk mengelolanya atau melindunginya. Rilis terbaru Kementerian Kelautan Perikanan Republik Indonesia melalui Komnas Kajiskan bahwa total potensi lestari (MSY/maximum sustainable yield) sumberdaya ikan di Perairan Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 8,6 juta ton per tahun.
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan berbasis WPPNRI, Pemerintah menetapkan estimasi potensi sumber daya ikan, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, dan alokasi sumber daya ikan di setiap WPPNRI. Jumlah ini merupakan berkah sekaligus tanggungjawab bagi seluruh pemangku kepentingan dan elemen masyarakat agar dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan rakyat.
Gambar 1. Perikanan skala kecil dapat menjadi dampak jika pengelolaan sumberdaya ikan tidak berprinsip berkelanjutan
Berdasarkan PP no 27 tahun 2021 bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan, Pemerintah menetapkan ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap. Hal ini dilakukan dengan menerapkan strategi perikanan tangkap yang terukur.
Implementasi dari strategi ini, yakni dilakukannya penangkapan sumberdaya ikan dengan perizinan, dengan mempertimbangkan kuota (catch limit), artinya pengendalian penangkapan didasarkan atas output (produksi). Dengan adanya control pada aspek input, maka diharapkan dapat menjaga stok ikan dan kesehatan perairan, optimalnya industri di pelabuhan, serta adanya akurasi data penangkapan.
Saat ini kebijakan penangkapan ikan terukur mulai diujicoba di sebagian WPP 715 dan WPP 718 dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan: 1.861.500 ton/tahun dan nilai produksi sebesar Rp. 46,12 triliun. Konsep ini diharapkan menjadi arah baru yang dapat menjadi arah baru pembangunan perikanan nasional yang didukung oleh konektivitas logistic hasil tangkapan yang memadai, sarana yang menunjang, kapasitas sumberdaya manusia yang adaptif serta penegakan kebijakan dan pengawasan yang konsisten.
Gambar 2. Pembagian Zona Penangkapan Ikan Terukur berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Terukur (KKP 2021)
Gambar 3. Alur Penangkapan Ikan Terukur di WPP NRI (KKP 2022)