SEMARANG , sorotindonesia.com – Ketua Jaringan Kyai Santri Nasional (JKSN) Jawa Tengah, Dr. H. Najahan Musyafak, MA, mengecam tayangan dalam program Xpose Uncensored yang ditayangkan oleh Trans7 pada Senin, 13 Oktober 2025.
Ia menyebut tayangan tersebut melecehkan simbol keagamaan karena menampilkan audio visual dengan narasi satir tentang kehidupan kiai dan santri pada umumnya, “Program tersebut jelas tidak menghormati nilai-nilai Islam dan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia,” kata Najahan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/10/2025).
Katanya, hal itu nampak jelas dengan potongan video yang menggambarkan kiai kaya raya karena uang amplop dari santri dan masyarakat. Sementara santri yang diperlakukan seperti pelayan rumah tangga. Video tersebut ditambah dengan narasi bernada sarkastik.
“Tayangan tersebut kemudian viral dan memicu reaksi negatif dari masyarakat pesantren serta berbagai organisasi keagamaan,” ujarnya.
Najahan menilai bahwa tayangan semacam ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, terutama Pasal 36 ayat (5) yang mewajibkan lembaga penyiaran untuk menjunjung tinggi nilai agama dan budaya bangsa.
“Ketika simbol keagamaan dijadikan bahan olok-olokan, itu bukan lagi kritik sosial, tetapi pelecehan terhadap lembaga yang menjadi pilar moral bangsa,” ungkapnya.
Menurutnya, isi siaran yang bersifat satir dan menyerang tokoh agama secara tidak proporsional juga bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Pasal 11 P3 KPI secara tegas melarang siaran yang memperolok simbol agama, dan Pasal 9 SPS menuntut penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan. Konten seperti ini jelas tidak etis,” tegasnya.
Akademisi bidang komunikasi Islam ini melanjutkan, lembaga penyiaran seharusnya menjaga prinsip keberimbangan informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 SPS KPI.
Menurutnya, jika tayangan mengambil potongan video viral tanpa verifikasi dan hak jawab dari pihak pesantren, maka hal itu bisa menyesatkan opini publik. “KPI perlu lebih aktif melakukan pengawasan agar media tidak menggunakan isu agama sebagai bahan sensasi,” tandasnya.
Sebagai tokoh yang lahir dari kalangan pesantren, Najahan juga mengingatkan pentingnya menjaga adab dalam kritik sosial di ruang publik.
“Kami tidak menolak kritik, tetapi kritik harus dibangun di atas etika, bukan ejekan. Pesantren dan kiai adalah penjaga moral bangsa, bukan objek satir,” tuturnya.
Najahan berharap dunia penyiaran dapat menjadi mitra pendidikan publik yang beradab, bukan sekadar mengejar rating. Maka dari itu dirinya mengajak seluruh insan media untuk memperkuat komitmen etika penyiaran dan literasi keagamaan dalam produksi konten.
“Media harus menjadi sarana pencerahan, bukan provokasi. Kebebasan berekspresi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab moral. Jika media mampu menjaga itu, publik akan tetap percaya bahwa siaran televisi adalah ruang edukasi, bukan pelecehan,” pungkasnya (*)





