Semarang, [ Sorot Indonesia ] – Keterbatasan pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus mengakibatkan adanya beda perlakuan yang tanpa disadari. Karena itu, untuk mengetahui seorang anak menderita autis atau sebagainya tidak bisa dideteksi dan dinyatakan oleh tenaga pendidik. Ini, diungkapkan oleh Elisabeth Wahyu Margareth Indira dalam kegiatan peningkatan kompetensi bagi pendamping dan pelaku sosial penyandang disabilitas di Hotel Azaya, Desa Kenteng, Bandungan, Kabupaten Semarang, (21/04/2018)
Lebih lanjut, saat diwawancarai, dirinya menyatakan bahwa peningkatan kompetensi dalam menangani anak berkebutuhan khusus tidak bisa secara instan dalam sekali pelatihan atau diskusi. Sebab itu, melihat adanya antusias peserta yang memiliki harapan untuk bisa lebih mengetahui penanganan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus. Ia berharap adanya inisiatif dari Dinsos dan para pelaku yang bersinggungan langsung untuk bekerjasama secara lintas sektor dalam menindak-lanjuti hasil dari kegiatan tersebut. Lebih dari itu, perlu adanya pemberian pemahaman yang sama di tingkat PKK.
Pada kesempatan yang sama, hal menarik lainnya diutarakan oleh Suryandaru dalam paparan materinya. Pria difable netra ini menyatakan bahwa definisi dan cara pandang terhadap disabilitas sangat berpengaruh terhadap tindakan. Bila memandang sebagai orang yang sakit, maka tidak akan memandang apa yang dapat dilakukan para penyandang disabilitas. Hal tersebut juga terdapat dalam kebijakan pemerintah. Menurutnya, saat ini Pemerintah sedang dalam prosesnya untuk dapat menghasilkan kebijakan, sarana, dan prasarana yang universal. Ia berharap ada sekolah umum yang bisa diakses oleh penyandang disabilitas seperti laptop yang biasa ia gunakan untuk mengajar di SLB bagi difable netra.
Kasie Rehabsos, Yetty Nur Indriyarti dalam laporannya mengatakan, kegiatan yang akan berakhir besok (22/04/2018) tersebut merupakan program kegiatan Dinsos Semarang dalam upayanya menguatkan karakter para pekerja sosial. Selain itu, ia berharap para pendamping memiliki wawasan tambahan serta kompetensi tentang disabilitas. Sekretaris Dinsos Semarang, Joko Rakito menegaskan apa yang disampaikan Yeti dalam sambutannya. Dikatakan, Pemkot Semarang telah berupaya agar para penyandang disabilitas bisa mendapatkan kesempatan, dan perlindungan yang sama. Dirinya menyadari bahwa sejauh ini memang usaha tersebut belum mampu menjadikan Kota Semarang ramah difabel. Sebab, para pendamping membutuhkan keterampilan khusus dalam menjalankan tugasnya tersebut.
Suster Kristiana, memberikan pendapat tentang kegiatan tersebut. Perempuan yang menjadi salah satu pendamping disabilitas di YPAC Bhakti Asih ini merasa ada wacana baru, ” bila bisa menggunakan alat bantu, kenapa tak dicoba?” Kata dia sàat ditemu di sela kegiatan tersebut. Diterangkan bahwa Bhakti Asih merupakan YPAC yang pada umumnya mampu rawat, jadi tindakan yang diberikan sejauh ini dalam upaya memanusiakan manusia dengan perlindungan, dan perawatan untuk bisa bertahan hidup. Dikatakan lebih lanjut, meskipun alat bantu tidak menyelesaikan secara 100 persen, namun cukup membantu, “setidaknya meringankan” tandasnya. (sorotindonesia.com/arh)