JAKARTA – Elemen masyarakat dari BP2 Tipikor LAI (Badan Pemantau dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Lembaga Aliansi Indonesia) menggelar aksi unjukrasa damai di Kantor Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (18/4/2024) siang.
Aksi yang dilaksanakan oleh BP2 Tipikor LAI ini, adalah untuk menyalurkan aspirasi dan dukungan kepada Kejaksaan Agung terkait dengan penanganan dan pengungkapan dugaan kasus tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung (Babel) sepanjang tahun 2015 hingga 2022, khususnya biaya deposit reklamasi tambang.
“Kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di lahan konsesi PT Timah Tbk di Bangka Belitung Periode 2015-2022 merupakan kasus korupsi kelas kakap yang pertama terjadi di Indonesia, untuk itu BP2 Tipikor LAI berharap Kejagung melakukan penyitaan terhadap aset-aset terduga korupsi atas nama Thamron alias Aon tersebut, karena aset – aset Aon yang diduga didapat dari hasil korupsi tersebut lebih besar dari aset Harvey Muis,” tegas koordinator aksi, Agustinus Petrus Gultom.
Pada kegiatan tersebut, tampak sejumlah orang dari massa aksi juga membentangkan spanduk yang diantaranya bertuliskan Cukong-cukong kaya raya keruk timah di Babel, 70 ribu warga Babel masih hidup dalam kemiskinan, Anggaran reklamasi tambang, kemana?, Kami mendesak penyelesaian semua kasus timah di Babel, termasuk penyidikan terhadap perusahaan-perusahaan terkait.
Menurut Agustinus dalam orasinya, kasus mega korupsi di sektor tambang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar, termasuk dampak buruknya bagi kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pihaknya mendukung langkah-langkah hukum yang tegas, jelas, serta transparan yang dilakukan oleh Kejagung RI untuk melibas mafia tambang, antara lain di pusaran IUP PT Timah di Babel.
Selain berorasi, elemen masyarakat dari BP2 Tipikor LAI juga menyampaikan pernyataan sikap secara tertulis yang terbagi dalam sejumlah poin yang menyeret nama-nama perusahaan tambang dan smelter nikel
1. Memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, khususnya Jampidsus Kejagung RI atas banyak terungkapnya kasus-kasus Korupsi kelas kakap, khususnya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk di Bangka Belitung (Babel) periode 2015-2022 yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar dan akibat dampak pertambangan yang merusak lingkungan hingga merugikan negara mencapai Rp 271 triliun yang dilakukan oleh para MAFIA TAMBANG SECARA UGAL-UGALAN.
2. Hari ini, Kamis, 18 April 2024, BP2 TIPIKOR – LAI menyampaikan Surat Laporan/Pengaduan Masyarakat secara resmi kepada Jampidsus Kejagung RI, tembusan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, Kepala Kejaksaan Agung RI, Jamwas Kejaksaan Agung RI, Kepala PPATK RI, Ketua BPK RI, Kepala BPKP RI terkait kasus tambang Timah di Babel diantaranya mengenai:
- Desakan percepatan proses penyelidikan dan penyidikan pada perkara ini. Kejagung RI sudah menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan. Sedangkan 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara, dengan hanya memeriksa sekitar 6 Perusahaan dari sekitar 25 perusahaan besar yang aktif melakukan pertambangan timah di Babel. Lalu kapan puluhan perusahaan lainnya diperiksa, khususnya PT. BABEL INTI PERKASA (PT BIP), juga disinyalir juga salah satu perusahaan yang bergerak di bidang Tin Smelter yang memproduksi Tin Ingot.
Berdasarkan informasi yang kami miliki, PT. BABEL INTI PERKASA didirikan sejak tahun 2008, PT Babel Inti Perkasa diambil alih oleh Manajemen PT Bukit Timah pada Juni 2012, dengan Pemilik/ Pemegang Saham terbesarnya PT BUKIT TIMAH sebanyak 75%.
Pembangunan pabrik PT Babel Inti Perkasa oleh Manajemen baru yang berlokasi di Pulau Belitung, selesai pada awal tahun 2013. Berdasarkan data yang didapatkan dari Minerba One Map Indonesia terkait wilayah IUP PT Babel Inti Perkasa dan PT Bukit Timah, di Kepulauan Babel, Kab. Belitung, sebagai berikut: a. PT Babel Inti Perkasa
-Single ID : 3119022112014049
-Nomor SK : 188.4/420/ESDMPTSP/2019
-Tanggal Berlaku SK : 7 Januari 2019
-Tanggal Berakhir SK : 7 Januari 2028
-Tahapan Kegiatan : OPERASI PRODUKSI
-Luas Wilayah (Ha) : 92, 10
-Komoditas : Timah
-Lokasi Tambang : Desa Bantan, Kec. Membalang, Kab. Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.
b. PT Bukit Timah (Pemilik Saham Terbesar di PT Babel Inti Perkasa sebesar 75 %)
– Single ID : 3119012112014104
– Nomor SK : 188.44/282*DPE/2016
– Tanggal Berlaku SK : 29 Maret 2016
– Tanggal Berakhir SK : 29 Maret 2026
– Tahapan Kegiatan : OPERASI PRODUKSI
– Luas Wilayah (Ha) : 18, 00
– Komoditas : Timah
– Lokasi Tambang : Daerah Simpang Lumut, Kec. Belinyu.
Bahwa, Dari luasan lahan IUP ke 2 (dua) perusahaan tersebut, patut diduga adanya kegiatan tambang yang keluar dari zona/ wilayah tambang yang melanggar izin/ IUP.
Bahwa, PT. BABEL INTI PERKASA diduga sangat berperan dalam melakukan tindak pidana penambangan timah ilegal di lahan konsesi PT Timah Tbk di Babel periode 2015-2022, yang disinyalir mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. - Kondisi bekas tambang dan masyarakat di Babel yang sangat memprihatinkan selama ini, seperti tidak adanya pengawasan dari instasi terkait dan aparat penegak hukum, sehingga patut diduga adanya pembiaran atau persekongkolan, dengan indikasi diantaranya :
a. Bahwa berdasarkan data dan informasi pada tahun sekitar tahun 2010 lalu, disinyalir mulai marak masuknya kapal-kapal hisap. Perairan laut Belitung yang telah di incar oleh beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan laut, dengan mengincar Timah sebagai tujuan komoditi sebenarnya. Perusahaan-perusahaan besar diduga memiliki wilayah Perairan Laut, dengan ploting WP laut nya masing masing.
b. Bangka Belitung memiliki luas lahan pertambangan menurut bahan galian dan izin usaha pertambangan pada tahun 2019 mencapai satu juta hektare lebih, dari total luas Bangka Belitung sekitar 1,6 juta hektare. Dari angka itu, hampir 50% izin pertambangan dimiliki oleh PT Timah, selebihnya dikelola ratusan perusahaan.
Sejak terjadi deforestasi besar-besaran akibat pertambangan timah di kawasan hutan lantaran mayoritas perusahaan yang mengantongi izin maupun tidak, yang tak kunjung melakukan reklamasi atau pemulihan, namun seperti tidak ada pengawasan dan tindakan tegas akan hal itu.
Jika dihitung belasan ribu lubang tambang itu sama dengan luasan 15.579 hektare. Selain menyebabkan korban meninggal, menimbulkan bencana kekeringan di Bangka Belitung. Sumber air di Bangka Belitung mengalami krisis. Masyarakat akhirnya mengambil sumber air dari lubang-lubang tambang dengan kualitas air yang berbahaya.
c. Bahwa Akibatnya, 12.000 lebih lubang galian tambang timah dibiarkan menganga. Perkiraan ada 12.607 lubang tambang yang belum direklamasi selama tiga tahun, sejak 2021 sampai 2023. Bekas area tambang yang seharusnya dipulihkan ternyata sama sekali tidak dipulihkan dan ditinggalkan begitu saja sehingga meninggalkan lubang yang begitu besar, mengakibatkan setidaknya 15 orang meninggal, 12 di antaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun dan tercatat ada 21 kasus korban tenggelam.
Akibat tambang yang ugal-ugalan tersebut, ribuan hektare terumbu karang mati, aktivitas penambangan timah tak hanya berlangsung di kawasan hutan, namun merambah ke wilayah pesisir dan laut.
d. Secara geologi kepulauan Babel memiliki potensi mineral baik logam maupun non logam yang perlu dikelola secara maksimal, mandiri, andal, transparan, berdayasaing, efisien dan bernuansa lingkungan serta bertanggung jawab sehingga dapat memberi kontribusi dalam menunjang pembangunan dan mensejahterakan masyarakat di Provinsi Kepulauan Babel, dalam ini pun disinyalir tidak dilaksanakan dan dilakukan.
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Babel sekitar 68,69 ribu penduduk Babel masih dalam kondisi hidup miskin per Maret 2023. Padahal Provinsi Babel dikenal sebagai salah satu daerah penghasil timah terbesar di dunia, meskipun daerahnya kaya akan komoditas, akan tetapi sekitar 70 ribu warganya masih hidup dalam kondisi miskin.
Kondisi tersebut diduga dikarenakan ratusan khususnya 25 Perusahaan yang aktif menambang di Kepulauan Babel melakukan penambangan di wilayah IUP PT. Timah Tbk dengan menggunakan alat-alat berat, dengan berkedok tambang rakyat.
Padahal jelas, tambang rakyat tidak diperbolehkan menggunakan alat-alat berat. Sehingga pendapatan negara melalui pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak diberikan karena penambangannya berkedok tambang rakyat. Program Corporate Social Responsibility (CSR), tanggung jawab sosial, baik kepada masyarakat maupun lingkungan sekitar tidak berjalan karena berkedok tambang rakyat.
e. Adanya dugaan ‘beking’ oleh aparat penegak hukum pada kegiatan illegal tersebut, mulai dari bahan bakar alat berat yang terindikasi mengunakan BBM bersubsidi, aktivitas yang tidak mengantongi IUP dan izin lainnya, pembiaran instansi terkait terhadap dampak lingkungan, pengerusakan kawasan perkebunan dan non perkebunan, aktivitas di luar IUP dan penjualan timah yang disinyalir melanggar aturan. - Pihak Kejagung/ Penyidik mestinya juga memeriksa pihak Kementerian maupun Dinas Lingkungan Hidup, Minerba, Ditjen Pajak, dan instansi terkait lainnya untuk mengusut dugaan pembiaran, persekongkolan, disetujuinya/ dibiarkannya aktivitas ilegal dari data yang mereka miliki dan hasil laporan pihak perusahaan yang diterima dper-enam bulan mesti banyak kejanggalan, termaksud mudahnya pemberian izin penambangan dan operasionalnya.
Faktanya hingga saat ini disinyalir belum ada satupun yang diperiksa dan ditetapkan tersangka terkait lolosnya/ terbongkarnya kasus timah di Babel.
Menurut data total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare. Artinya yang non-IUP sekitar 81.462,602 hektare. Kondisi tersebut patut diduga adanya pembiaran/ persekongkolan dari instansi terkait. - Dugaan korupsi pada Deposit/ Jaminan Reklamasi Tambang di Babel.
Dalam sektor pertambangan tentunya terdapat serangkaian tahapan yang harus dilakukan sebelum memulai kegiatan usahanya. Pada umumnya, dalam kegiatan pertambangan dimulai dengan melakukan konservasi, kemudian, dilanjutkan pada tahap eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, eksploitasi, dan berakhir dengan reklamasi;
Dalam konteks pasca operasi kegiatan usaha, maka kehadiran suatu kegiatan usaha pada prinsipnya akan merubah atau mengurangi kemampuan fungsi lingkungan hidup yang seharusnya dipulihkan kembali.
Tujuannya agar fungsi lingkungan hidup yang dimiliki oleh rona lingkungan awal (keadaan semula) dapat dikembalikan sebagaimana fungsi awalnya atau menjadi lebih baik.
Mekanisme pertanggungjawaban terhadap pemulihan lingkungan secara umum diatur dalam instrumen pendanaan lingkungan hidup, berupa kebijakan Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup (DJPLH).
Setiap Perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang memiliki persetujuan lingkungan (sebelumnya Izin Lingkungan serta wajib AMDAL dan UKL-UPL) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Secara ideal, maka pemerintah seharusnya harus memiliki dana jaminan pemulihan lingkungan hidup yang berasal dari Perusahaan yang bersangkutan, yang dapat digunakan sebagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam implementasinya, apakah para pengusaha tambang timah di wilayah Bangka Belitung menyetor dana jaminan pemulihan lingkungan hidup kepada Pemerintah Daerah setempat. Jika ya, kemana dana jaminan pemulihan lingkungan hidup yang berasal dari puluhan perusahaan tersebut mengalir….???
Anggaran Reklamasi Tambang Dikemanakan? Di Deposit Atau Di Korupsi? - Bahwa kuat dugaan banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang terjadi pada pertambangan timah di Babel yang juga perlu dilakukan pemeriksaan diantaranya, perizinan pertambangan sesuai luasan yang ditentukan, pencemaran lingkungan, CRS, hilir mudiknya kendaraan berat yang tidak sesuai ketentuan, pajak pendapatan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang patut dipertanyakan kebenarannya dan adanya dugaan pengerusakan lahan lingkungan akibat penambangan yang tidak diperbaiki kembali.
- Bahwa bila total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare. Artinya yang non-IUP sekitar 81.462,602 hektare.
Apakah biaya reklamasi perbaikan bekas tambang/ lingkungan di deposit atau hanya tertuang dalam perjanjian/ kontrak. Bila biaya reklamasi sebesar Rp. 25 juta/ hektare di deposit (dijaminkan), maka BP2 TIPIKOR membuat perincian kerugian negara secara langsung dengan rincian:
1. Total Luas galian terkait kasus PT Timah Tbk 170.363.064 Ha X Rp 25 Juta, sehingga jumlahnya bisa dikategorikan total kerugian negara secara langsung.
2. Non-IUP sekitar 81.462,602 Ha x Rp 25 Juta, sehingga jumlahnya bisa dikategorikan total kerugian negara secara langsung.
Bila deposit/ jaminan/ angka perhitungan tersebut tidak ada sama sekali, apalagi pekerjaan reklamasi yang tidak pernah dilakukan di kawasan 170.363.064 hektar yang kini sedang ditangani pihak Kejagung, dapat dipastikan terjadinya kejahatan yang luar biasa.
Diduga nilai kerugian negara secara langsung akibat tidak adanya deposit/ jaminan yang harusnya dilaksanakan, kuat dugaan terjadinya pengelapan keuangan negara dalam jumlah yang cukup besar, dengan perhitungan yang telah kami lakukan.
Angka tersebut menurut BP2 Tipikor – LAI baru kerugian negara atas dugaan terjadinya pengelapan deposit/ jaminan reklamasi di darat, belum lagi bila diakumulasi kerugian di wilayah pesisir dan laut. - Bahwa BP2 TIPIKOR LAI MENDUKUNG KEJAGUNG RI MENGUSUT TUNTAS KASUS
DUGAAN KORUPSI TATA NIAGA KOMODITAS TIMAH DI BANGKA BELITUNG (BABEL)
TAHUN 2015-2022, KHUSUSNYA USUT BIAYA DEPOSIT/ JAMINAN REKLAMASI TAMBANG. - Bahwa BP2 TIPIKOR LAI mendesak untuk dihentikannya sementara seluruh kegiatan tambang di Bangka Belitung dengan alasan diantaranya:
a. Mempermudah proses penyelidikan/ penyidikan;
b. Mempermudah pemisahan antara tambang rakyak, tambang yang mengantongi IUP dan tambang yang berkedok tambang rakyat;
c. Mencegah kerugian negara yang lebih besar secara langsung dan kerugian negara akibat dampak lingkungan akibat tambang.**(Hans)