Semarang [ Sorot Indonesia ] – Seminar yang digelar oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Semarang bersama DPD KNPI Kota Semarang di Hotel Pesonna Jalan Depok No. 33 Kembangsari Semarang Tengah, Kota Semarang, membongkar radikalisme dengan hadirnya para narasumber yang mengupas pemahaman tentang hubungan antara agama dengan negara, Rabu (28/03/2018). Gurun Risyadmoko berharap dengan adanya seminar yang membincang agama dalam negara mampu melindungi pemuda dari radikalisme dan terorisme.
Memaparkan materi tentang agama, Prof Dr KH Imam Taufiq M.Ag., mengungkapkan bahwasanya terdapat persoalan yang perlu disikapi di masa perkembangan dunia digital. Yakni adanya minat belajar agama namun secara instan melalui internet. Baik mengkonsumsi ajaran agama melalui web maupun pesan berantai. Menurutnya, hal ini berpotensi pada adanya pemahaman ayat sebatas literal tes. Karena itulah muncul pemahaman agama vis a vis negara, radikalisme, pola mengkafirkan pihak yang beda, dan terorisme. Padahal yang sebenarnya terjadi pembahasan antara agama dengan negara sudah selesai di masa perumusan teks Pancasila.
Kiai yang juga Guru Besar Tafsir UIN WS berpendapat, pada dasarnya agama apapun terutama Islam mengajarkan kedamaian dan ketentraman bagi dirinya sendiri dan masyarakat sekitarnya, “Agama juga menakut-nakuti. Namun menakuti diri sendiri agar berupaya menjadi pribadi yang lebih baik, dan bukan menciptakan ketakunan bagi orang lain yang ada di sekitarnya”.
Hal senada diungkapkan oleh M Rikza Chamami, banyak persoalan kebangsaan muncul karena minimnya pemahaman tentang islam. Adanya pemahaman yang salah tentang jihad, “terorisme dan radikalisme bukan jihad, tapi jahat” ungkapnya. “Agama menjadikan sesorang menjadi ramah, bukan menjadikan orang marah-marah” lanjutnya. Ia menegaskan dalam kehidupan beragama dalam negara membutuhkan pemahaman islam yang komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan bangsa yang plural. Bukan pemahaman islam yang sepotong-potong berdasarkan keinginannya dan tekstualis.
Sementara Ketua FKPT Jateng, Dr Drs H Budiyanto SH MHum dalam paparannya menyatakan bahwa cara hidup dalam negara sebagaimana yang diungkapkan oleh KH Maimun Zubair. Yakni PBNU yang merupakan kepanjangan dari Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila sebagai sebuah konsensus yang norma-norma dan pelaksanaannya tidak pernah bertentangan dengan ajaran agama. Senior KNPI yang juga Dosen FIK Unnes mengungkapkan bahwa teorisme bermula dari radikalisme. Dikatakan, paham Islam radikal berpotensi pada terorisme sebagaimana telah dipaparkan oleh para narasumber sebelumnya melalui pola pembenaran diri dan dengan mengkafirkan serta memusuhi yang beda.
Menurutnya, faktor lain yang memunculkan terorisme adalah kemiskinan. Miskin pemikiran dan miskin ekonomi menjadi pemicu utama adanya terorisme. Kondisi bangsa yang lemah secara ekonomi menjadi bahan utama menyuarakan aksi atas nama demokrasi. Sebuah fenomena yang tidak pernah muncul di masa orde baru. Padahal, perkembangan yang ada menunjukkan pada proses perbaikan negara secara berkesinambungan. (sorotindonesia.com/arh)