Semarang – Peran santri dalam membentuk Indonesia dan keindonesiaan menjadi bahan utama dalam spirit orang Islam yang hidup di Indonesia dan orang Indonesia yang beragama Islam. Hal tersebut dinyatakan oleh Habib Umar Mutahar dalam kegiatan Shalawat Kebangsaan.
engangkat tema Wajah Pesantren Wajah Indonesia kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyambut hari santri nasional semalam (21/10) di lapangan Pancasila Semarang. Dalam tausyiahnya Habib Umar juga mengingatkan ribuan jama’ah yang hadir agar tidak mudah tergoda dan mengikuti aliran keagamaan yang baru muncul, “Gak usah melu-melu sing anyar-anyar. Wes pokoke angger melu Kiai mesti insya Allah slamet” nasehatnya dalam bahasa jawa (Tidak perlu ikut-ikutan aliran yang baru. Sudahlah intinya kalau mengikuti Kiai insya Allah pasti selamat).
Umara, Ulama dan Rakyat Bersatu
Kegiatan Shalawat Kebangsaan semalam menunjukkan simbol kekuatan bangsa. Ulama, Umara (Pemerintah) dan Masyarakat bersholawat dan berdoa bersama. Antusias masyarakat bersambut pula dengan hadinnya Menteri Agama Luqman Hakim Saifuddin, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Walikota Semarang Hendrar Prihadi, Para Guru Besar dan Rektor.
Dalam menjaga dan merawat bangsa dan negara Menteri Lukman dalam sambutannya mengimbau tentang pentingnya penguasaan terhadap ilmu teknologi di era digital seperti saat ini, “Menjaga Indonesia sekaligus menjaga peradaban dunia. Kita harus menguasai media sosial. Sebab kalau tidak maka media sosial akan dikuasai oleh mereka yang memiliki paham keagamaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan para pendahulu kita, yaitu islam yang washatiyyah.”
Lukman Hakim juga menjelaskan tentang paham berislam dengan memadukan antara teks dan kontekstual sehingga antara rasio dengan Wahyu memiliki peran yang berimbang dan tidak mendewakan teks yang menghasilkan radikalis dan tidak pula mendewakan akal pikiran yang menghasilkan liberalis.
Menteri yang lulusan pesantren tersebut memberikan perumpamaan dengan membuat komik, “Membuat komik adalah cara kita mengolah kepekaan rasa kita sehingga agama tidak hanya dipahami dengan kemampuan nalar kita tapi juga kepekaan rasa.” Lebih lanjut dirinya juga menyampaikan banyak hal tentang santri, pesantren dan beberapa kebijakan pemerintah dalam memberdayakan potensi pesantren dan memberikan rekognisi (pengakuan) terhadap output pendidikan pesantren yang dinilai setara dengan lembaga pendidikan formal pada umumnya dengan sarat tertentu.