Bandung, sorotindonesia.com – Saya kira langkah pembubaran HTI oleh pemerintah sudah tepat meski sedikit telat. Ini kebijakan yang bisa jadi rujukan publik berkaitan dengan kelompok-kelompok anti Pancasila dan NKRI.
Namun demikian, sebagai negara demokratis, langkah pembubaran dan larangan ini harus diuji dalam peradilan yang adil, dengan kata lain, pemerintah tetap memberikan ‘hak jawab’ bagi HTI untuk menjelaskan posisi kelembagaan mereka pada proses peradilan yang terbuka.
Dari situ putusan pengadilan akan dapat bersifat tetap bagi pelarangan dan pembubaran HTI tanpa harus mencederai esensi demokrasi, khususnya hak publik dalam berkumpul dan berserikat, yang mana dalam konstitusi juga secara tegas diatur.
Hal ini penting agar pemerintah juga tetap menghormati hak publik dalam berserikat, dan jikapun memang HTI tidak sejalan dengan hakikat NKRI dan Pancasila, tetap dibuktikan dalam pengadilan yang adil.
Langkah selanjutnya, pemerintah juga harus mereview sejumlah lembaga yang didirikan dengam basis ideologi yang anti Pancasila dan mempertanyakan hakikat bernegara. Seperti FPI, GNPFMUI dan sejuah ormas lain yang teridentifikasi anti NKRI dan anti Pancasila.
Selama ini keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak juga meresahkan publik juga memecah persatuan publik. Karena itu penting agar publik juga memiliki panduan dan pijakan dalam memosisikan diri terkait dinamika kemasyarakatan yang selama ini berlangsung.
Sehingga dengan begitu, langkah ini menjadi komprehensif dan tidak tebang pilih. Termasuk di dalamnya mengkaji betul penggunaan rumah ibadah untuk kegiatan politik.
Muradi
Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran
Bandung