Matra Dapat Wejangan Dari Ki Ageng Pangreksa Budaya

oleh -

Semarang, [ Sorot Indonesia ] – Sowan atau sillaturrahim merupakan bagian dari budaya nusantara. DPW Matra Eks Karesidenan Semarang bersama Korwil Matra se-Jawa, Raden Tumenggung Pangeran Haryo Metarum, dan Widodo Brotosejati bersillaturrahim kepada Ki Ageng Pangreksa Budaya, H Sunarso SH MH., Minggu (1/4/2018).

Kedatangan mereka dalam rangka mempersiapkan calon pengurus DPW Matra yang akan dikukuhkan akhir pekan ini. Kedatangan rombongan Matra disambut dengan ramah oleh Ki Ageng Pangreksa Budaya di kediamannya Sanggar Pangreksa Budaya, Jalan Pringgodani ll Nomor 130, Desa Karang Geneng RT 3 RW 2 Kelurahan Sumurrejo Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.

Sunarso pada kesempatan itu memberikan wejangan (nasehat) pada para calon pengurus bahwasanya nilai luhur yang terkandung dalam budaya perlu digali, dilestarikan, dan dikembangkan. Dikatakannya, antara budaya, agama, dan nasionalisme satu sama lain tidak bertentangan, akan tetapi tidak terpisahkan. Dijelaskan, hal tersebut akan lebih jelas saat telah benar-benar berkecimpung di dalamnya.

Menurutnya, budaya harus bersandingan dengan agama, “budaya kedah sesaandingan kaliyan agami” kata dia dalan bahasa jawa. Miturut kawula mboten namung sesandingan, ananging awor misah” lanjutnya (menurut saya, bukan hanya bersandingan, akan tetapi seperti tak terpisahkan). Diterangkan, budaya mengajarkan untuk kehidupan yang baik, beretika, dengan nilai-nilai religius yang konsisten. Hal ini biasa disebut dengan gesang istikomah. Etika dalam penjelasannya sebagai budhi pekerti ingkang utami (budi pekerti yang luhur), yang mana dalam agama disebut al akhlak al karimah. Sedangkan al kusnu al khatimah sebagai kesempurnaan hidup dan kesempurnaan penghujung kehidupan manusia di dunia disebut kasampurnaning gesang, kasampurnaning pati. Norma yang ada dalam budaya sama sekali tidak terpisahkan sebagaimana diumpamakan rasa manis dalam gula.

Baca Juga:  Sarasehan Budaya Setu Wage, Keselarasan Agama dengan Budaya

 

Lebih lanjut diterangkan, Nabi Muhammad sebagai suri tauladan umat Islam, dan Wali Sanga sebagai simbol penyebar ajaran Islam di tanah Jawa merupakan pribadi yang menghargai budaya. Muhammad sebagai Sang Nabi penerima wahyu agama Islam tidak tidak berpenampilan dan berbusana ala Islam. Akan tetapi sebagaimana lazimnya bangsa arab Makkah. Hal yang membedakan Nabi Muhammad dengan bangsa arab pada umumnya, dan Wali Sanga dengan orang jawa umumnya pada saat itu terdapat pada etika yang utama atau akhlak al karimah.

Selain itu, Ki Ageng juga menuturkan tentang sifat dasar yang mesti dimiliki masyarakat adat pada umumnya, yakni; sudira, sambigana, dan susila nuraga, “susila meniko tumandang kanthi dedasar bener” (bertindak adas dasar kebenaran-jawa-red). Berani karena benar dan takut karena salah” tuturnya. Sambigana merupakan tindakan yang lebih dalam lagi karena harus memiliki sifat arif dan bijaksana. Ditekankan, tindakan tersebut menjadi landasan dalam kehidupan keluarga, lingkungan, nusa bangsa dan negara.

DPSP

Susila nuraga sebagai falsafah hidup orang jawa selaras dengan Pancasila. Diungkapkan, Pancasila sebagai salah satu pilar bangsa Indonesia juga digali dari budaya jawa. Maka dari itu sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Terlebih, para budayawan dan ulama ahli agama juga sudah bertekad menyatakan negara ini secara konstitusional sudah final dengan 4 pilar.

Baca Juga:  Sabang Anggota Baru Kota Pusaka

Terkait adanya Matra sebagai ormas baru, Sunarso merasa senang tak merasa ada saingan terhadap Permadani yang telah ada sejak 4 Juli 1984, “nyengkuyung Matra wonten pundhi kemawon mboten perkawis (didaulat sebagai apapun dalam Matra bukan sebuah persoalan-red)” tandasnya. Hal tersebut karena adanya rasa yang sama, “manunggaling raos, paribasanipun kados sempalan kulit daging piyambak (memiliki perasaan yang sama, bila dalam peribahasa ibarat potongan kulit dan atau daging sendiri-red)” tegasnya. Rasa peduli dan prihatin terhadap budaya nusantara yang kian tergerus budaya asing

Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Raden Tumenggung Haryo Metaram. Ia menyatakan, sebelum bangsa Indonesia mengenal agama, budaya nusantara telah berusaha mengenal tentang ke-esa-an Tuhan, “Kita patut berbangga dengan adat istiadat kita” kata Tumenggung Haryo menegaskan. Budaya yang ada jauh sebelum berdirinya Majapahit merupakan ke-khas-an budaya dan adat istiadat nusantara yang perlu dijaga, dirawat, dilestarikan, dan bahkan dikembangkan di bumi nusantara. (sorotindonesia.com/arh)

Raden Tumenggung Pangeran Haryo Metaram

Comments

comments