Oleh: Lantun Paradhita Dewanti, S.Pi., M.EP (Kepala Laboratorium Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Padjadjaran)
Sejak dikeluarkannya peraturan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia karena dianggap tidak ramah lingkungan, banyak konflik yang terjadi.
Timbul berbagai reaksi dari nelayan, akademisi, dan pegiat konservasi untuk menyikapi hal ini. Kebijakan yang dianggap pro-environment tersebut (karena memperhatikan keberlanjutan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan) dianggap merugikan nelayan. Dampak dari kebijakan ini, banyak nelayan yang mengalami kerugian karena harus menghentikan operasi penangkapan dengan alat yang dilarang tersebut, dalam hal ini didominasi oleh cantrang. Padahal penggunaan alat tangkap telah menjadi sumber mata pencaharian yang selama ini diandalkan.
Gambar 1. Jenis salat tangkap dogol di Kabupaten Indramayu sebagai bagian dari kelompok pukat hela
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2021 menjadi dasar baru dalam penentuan penggunaan alat penangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan di Indonesia. Secara umum ada sepuluh kelompok alat tangkap yang diopeprasikan di Indonesia menurut Kepmen tersebut, yaitu jaring lingkar, jaring tarik, jaring hela, penggaruk, jaring angkat, jaring insang, perangkap, pancing, alat yang dijatuhkan atau ditebarkan serta alat penangkap ikan lainnya. Disebutkan dalam peraturan tersebut bahwa ada dua klasifikasi alat tangkap yakni alat tangkap yang diperbolehkan dan alat tangkap yang dilarang.
Gambar 2. Kelompok alat penangkap ikan berdasarkan Permen KP No. 18 Tahun 2022
Berdasarkan peraturan tersebut, kelompok alat tangkap yang dilarang didominasi oleh jaring tarik dan jaring hela masih terkait dan sesuai dengan peraturan sebelumnya (Permen KP No 2 Tahun 2015). Pelarangan dilakukan bagi alat tangkap yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Hal tersebut dapat terjadi ketika pengoperasian alat tangkap mengancam kepunahan biota, mengakibatkan kehancuran habitat atau membahayakan keselamatan pengguna (nelayan).
Terdapat nomenklatur baru dalam peraturan tersebut mengenai alat tangkap yang diperbolehkan dari kelompok jaring Tarik dan jaring hela, yakni jaring Tarik berkantong. Definisi jaring tarik berkantong dalam permen tersebut yaitu jaring tarik yang menggunakan square mesh pada seluruh bagian kantongnya dan pengoperasiannya menggunakan tali selambar di dasar perairan dengan melingkari ikan demersal, kemudian menarik dan diangkat ke kapal yang sedang berhenti/berlabuh. Hal yang perlu digarisbawahi adalah adanya penggunaan square mesh size dan Gerakan kapal ketika proses setting, hauling dan towing.
Gambar 3. Jaring Tarik berkantong, transformasi dari cantrang yang menggunakan square mesh size
Secara definisi metode pengoperasian dan konstruksi sama dengan cantrang, letak perbedaannya hanya pada penggunaan jenis mesh saja. Penegakan hukum dalam permen baru ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh mengingat terdapat perbedaan yang cukup tipis antara kedua alat ini.
Beberapa penelitian memang menyebutkan bahwa penggunaan square mesh bisa meningkatkan selektivitas ukuran ikan yang tertangkap sehingga dapat membantu meloloskan ikan yang masih juvenile dan mengurangi discards. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai efektivitasnya jika diterapkan di WPP 711 dan 712.
Hal lain yang harus dipertimbangkan juga adalah potensi ikan demersal. Dalam Kepmen Kelautan Perikanan No. 50/KEPMEN-KP/2017 status sumberdaya ikan demersal di kedua WPP adalah fully exploited. Artinya, upaya penangkapan dipertahankan dengan monitor ketat. Keluarnya izin penggunaan jaring berkantong bisa saja meningkatkan fishing effort yang dikhawatirkan melenceng dari tujuan awal pelarangan alat tangkap destruktif yang dapat mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.***