Banyak Partai Politik Latah Usung Cawapres

oleh -
oleh

JAKARTA.SI – Ada fenomena langka yang terjadi jelang pemilu dan Pilpres 2019. Dimana partai politik peserta Pemilu hanya berani mencalonkan wakil presidennya berpasangan dengan Jokowi, ketimbang mencalonkan kadernya sebagai presiden.

Saat ini yang sudah resmi mencalonkan kadernya sebagai calon presiden, baru PDI-P dan Gerindra, sementara partai besar lain seperti Nasdem, PKB, PKS, PAN dan Golkar masih malu-malu dan hanya sebatas mendukung kadernya menjadi Cawapres.

Menurut pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI) Dr Jerry Massie, hal ini terjadi karena adanya 5 faktor yang menyebabkan parpol-parpol tersebut latah dan tak berani mengusung Capres dari kadernya sendiri.

“Pertama, Kurang confidence atau (percaya diri). Harusnya, parpol lain seperti Gerindra atau PDIP yang berani mencalonkan kadernya. Mereka bergaya fighter kalau di tinju dan gaya total football ala Belanda di sepak-bola,” ujarnya kepada GoNews.co, Kamis (1/3/2018) di Jakarta.

Saat ini kata dia, ada sejenis imsomnia poitik dengan lawan mereka Jokowi. Ini terlihat dengan memasangkan baliho beberapa Ketua Umum Parpol bersama Jokowi, mislany kata dia, Ketua Dewan Pembina Hanura Wiranto, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan juga Airlangga Ketua Golkar.

“Kedua, kurang kaderisasi partai. Dalam hal ini partai-partai selain Golkar, kurang kaderisasi. Hanya pemimpin “single fighter” seperti Mantan Presiden SBY kemarin. Memang kehadiran Agus agak terlambat, karena sebelumnya tidak dilakukan pengkaderan dengan baik,” tandasnya.

Secara kualitatiif dan kuantitatif kata dia, perlu dilakukan. Antara faktor popularitas, elektabilitas dan akseptabilitaspun harus berimbang.

“Ketiga, faktor syok dengan suara Presisential Threshold 20 persen DPR dan Nasional 25 persen. Dengan disahkannya peraturan KPU No 7 Tahun 2017 maka hanya akan ada 2 atau 3 calon yang bisa mengusung wakilnya,” tandasnya lagi.

Hal ini kata dia, membuat partai peserta Pemilu kewalahan dan tak berani mengusung calon internal. “Berkaca dari Amerika waktu Obama naik, dia bukan termasuk populer di Demokrat masih ada Hillary Clinton tapi keberanian dan tekadlah yabg mengehantarkany menjadi presiden ke-44 AS,” paparnya.

Yang Keempat lanjutnya, faktor budgeting or cost. Tak bisa dipungkiri dalam pilpres menghabiskan biaya triliunan. Apalagi calon tak punya sponsor.

“Beda di AS sana, juster masyarakat yang memberikan donasi kepada capres mereka baik Republik maupun demokrat. Nah! sistem itu tak berlaku di Indonesia,” paparnya.

Menurut data ICW kata dia, biaya kampaye Jokowi pada 2014 lalu menghabiskan sekitar Rp312 miliar, sedangkan Prabowo Rp166 Miliar.

“Itu belum iklan di media, logistik, para saksi, baliho dan sebagainya. Itu bisa di atas 1 triliun lho,” tukasnya.

Namun dengan demikian katanya lagi, ada bagusnya pengaturan biaya kampanye oleh KPU mencontoh beberapa pilkada seperti di Jabar yang biayanya maksimal bisa Rp 473 miliar, NTB Rp 75 M dan Sulsel Rp 74 Miliar.

Kelima, kata dia, adalah faktor tak berani ambil resiko. “Memang parpol yang ada agak kurang berani dan takut gagal. Mereka seakan sudah takut duluan untuk menantang Jokowi yang popularitasnya semakin naik dan sulit dikejar,” tandasnya.

Karena kata dia, di tangann Jokowi, masyarakat bisa meraskan pembangunan. “Politik mengekor atau ikut-ikutan sedang rame diperankan. Jadi melihat performa Jokowi membuat parpol ketar-ketir untuk melawannya. Bagi saya mereka hanya cari save (aman) dengan afiliasi politik,” pungkasnya.***[Bhq/EH]

Comments

comments

Tentang Penulis: baihaqi

"katakan yang benar meskipun pahit akibatnya.."