Wahid Foundation Luncurkan Buku Sekolah Damai

oleh -
Wahid Foundation Luncurkan Buku Sekolah Damai
Wahid Foundation melakukan launching buku 'Q & A Sekolah Damai' dan 'Cerita Sekolah Damai' di hotel Novotel Semarang pada Jum'at (25/2/2022). Banyak kisah unik dan inspiratif. (Istimewa)

SEMARANG – Wahid Foundation menggelar launching buku Q & A Sekolah Damai dan Cerita Sekolah Damai di hotel Novotel pada Jum’at (25/2/2022). Acara ini dihadiri oleh para kepala sekolah yang bekerjasama dengan Wahid Foundation dalam melaksanakan program Sekolah Damai sejak 2017 serta Dinas Pendidikan dan Kesbangpolinmas Jawa Tengah.

Dalam launching ini, para peserta dan narasumber saling berbagi pengalaman tentang toleransi. Kedua buku ini, selain berisi panduan pelaksanaan program Sekolah Damai, berisi juga cerita-cerita unik di 5 SMA di Jawa Tengah yang mengikuti program Sekolah Damai yang berjalan sejak tahun 2017.

Cepruddin, salah satu penulis mengatakan sebenarnya yang mengikuti program ini ada 35. Namun disaring menjadi 5 SMA karena konsistensi keikutsertaannya dalam program sejak 2017 hingga 2021.

“Awal mula program ini berjalan kami masih meraba-raba latar belakang para guru yang kita undang, apakah berideologi toleran atau tidak. Jadi kami melakukan screening dalil, apakah cocok dengan pendirian idelogis guru tersebut atau tidak,” ujar Direktur Lembaga Sosial Agama (ELSA) Semarang itu mengisahkan banyaknya perwakilan sekolah tidak tahan mengukuti Program Sekolah Damai karena Ideologi ekstremnya.

Penulis lain, Hj. Siti Rofi’ah, mengatakan buku ini dibuat untuk menjadi panduan sekolah-sekolah dalam membuat program serupa.

“Jadi buku ini kami buat untuk menjadi panduan bagi sekolah-sekolah agar menjalankan program Sekolah Damai secara simultan dan berkesinambungan di sekolah masing-masing. Jika suatu saat nanti program pendampingan dari Wahid Foundation sudah habis, maka harapannya sekolah-sekolah yang telah lama bekerjasama akan mampu membuat program secara mandiri,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Salatiga itu.

Format penulisan buku itu berbentuk tanya jawab soal fenomena keagamaan, toleransi, hingga seputar program Sekolah Damai itu sendiri.

“Dalam buku itu format yang kami buat adalah tanya jawab. Kenapa demikian? Karena biasanya di dalam pertanyaan-pertanyaan itu mewakili pertanyaan banyak masyarakat yang muncul. Seperti apa sih sekolah damai, bagaimana cara mempraktekkan di sekolah, prinsip-prinsipnya apa gitu,” ungkap Dosen Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang tersebut.

Rofi’ah juga mengatakan, saat ini sudah ada belasan sekolah yang siap bergabung dengan program Sekolah Damai. Harapannya, kedepan akan makin bertambah.

Dalam buku itu, ada lima sekolahan di Jawa Tengah yang menuangkan pengalamannya. Di antaranya SMA 1 Cepiring Kendal yang pada waktu Sekolah Damai 2017, Aliyah selaku guru agama di sana adalah orang yang setia dengan eksistensi Sekolah Damai hingga kini. Aliyah bercerita tentang pengalamannya membubarkan Ekstra Kulrikuler Rohaniwan Islam (Rohis) yang berideologi ekstrem bahkan akan berangkat ke Siruyah saat itu.

Ada lagi pengalaman dari SMA 13 Semarang yang diceritakan Endah selaku Kepala Sekolah. Dia bercerita tentang upayanya mendamaikan siswa sekolah saat terpilih Ketua OSIS dari agama Nasrani. Bahkan SMA 13 pernah merekrut vokalis gereja yang mengikuti lomba rebana. Hal ini menjadi unik karena Endah mengizinkan hal tersebut.

Lebih unik lagi kisah SMA 10 Semarang, Ahmad Fadhol selaku Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) diceritakan mampu menyadarkan seorang murid yang terpapar ideologi ekstrem. Fadhol mengaku siswa tersebut hampir selama sekolah di SMA 10 tidak mau berjamaah di masjid sekolah karena perbedaan paham keislamannya.

Selain soal kisah keagamaan, pengalaman Kepala Sekolah SMAN 7 Semarang juga sangat inspiratif. Pasalnya dia berhasil mengubah stigma SMA 7 yang terkenal dengan tawurannya menjadi sekolah yang giat dengan aktifitas keagamaan.

Selain itu, di SMA 7 pernah terjadi kampanye anti hormat bendera merah putih, tapi bukan dari kalangan islam, namun dari kapangam Kristen Saksi Yehuva. Aliran kristen ini sendiri menjadi kelompok minoritas ekstrem di kalangan kristen.

Peneliti dari Wahid Foundation, Alamsyah M Dja’far menjabarkan ada lima pokok penting dalam buku ini, bahwa kiya percaya toleransi dan perdamaian adalah prinsip dasar yang dikembanhkan oleh moral, agama, dan kebudayaan. Toleransi ada karena perbedaan dan ketidaksukaan, toleransi tidak membuat sama tapi membangun kebersamaan dalam perbedaan.

Toleransi lahir dari pengetahuan, kesadaran, dan penerimaan terhadap perbedaan. Bukan konsensi. Penguatan toleransi harus dimulai dari kesadaran dan pengakuan atas masalah, bukan penyangkalan. Terakhir, pendekatan lokal adalah modal penting membangun toleransi, “Pada dasarnya kita itu berbeda, tapi kita harus bisa bersama,” tegas Dja’far. (QQ)

Comments

comments