BANDA ACEH, sorotindonesia.com – Pemerintah Aceh melayangkan protes keras terhadap penetapan status kepemilikan empat pulau di perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pemprov Aceh menegaskan bahwa keputusan tersebut mengabaikan kesepakatan bersama antar gubernur yang telah dicapai pada tahun 1992.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, pada Jumat (13/6/2025), menyatakan bahwa Kemendagri dinilai keliru karena menggunakan batas darat sebagai dasar keputusan. Menurutnya, acuan utama seharusnya adalah kesepakatan tahun 1992 yang disaksikan langsung oleh Mendagri saat itu, karena hingga kini batas laut antara kedua provinsi belum juga ditetapkan secara final.
“Harusnya kan ditetapkan dulu garis batas laut karena sudah ada kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada tahun 1992 yang sampai saat ini belum ada kesepakatan kedua gubernur yang merubah garis batas laut tersebut,” tegas Syakir. Ia menyebut, kesepakatan 1992 itu telah menetapkan kepemilikan pulau-pulau tersebut kepada Aceh.
Pernyataan ini merupakan tanggapan atas keterangan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, yang menyatakan penetapan status pulau didasarkan pada batas darat. Syakir juga mengkritik Kemendagri yang dianggap terburu-buru dan tidak konsisten dengan aturannya sendiri, yakni Permendagri Nomor 141 Tahun 2017, yang seharusnya menjadikan dokumen kesepakatan batas daerah sebagai pertimbangan utama.
Syakir menganalogikan situasi ini secara sederhana. “Harusnya, ditetapkan dulu pagar rumah, otomatis rumah berada dalam wilayah. Nah, Kemendagri sebaliknya, yang dilakukan penetapan rumah dulu, padahal pagar dan halaman milik Aceh berdasarkan kesepakatan 1992,” jelasnya.
Pemerintah Aceh juga menyoroti adanya upaya pembakuan nama pulau pada 2008 yang dilakukan secara sepihak oleh Sumut, serta rapat kementerian pada 30 November 2017 yang dijadikan acuan oleh Kemendagri, yang menurut Aceh dilakukan tanpa melibatkan pihaknya. Pemprov Aceh kini menuntut agar penetapan batas laut didahulukan sesuai dengan kesepakatan historis yang telah ada.