SOROTINDONESIA.COM, Blora,- Berkembangnya paham radikal di Indonesia dinilai sebagai bukti melemahnya kohesivitas masyarakat. Ketua FKPT Jateng Dr Drs Budiyanto, SH M.Hum., mengungkapkan hal ini saat menyampaikan materi dalam Forum Komunikasi Ormas / LSM di D’Joglo Resto, Jalan Jenderal Sudirman No.6, Bangkle, Kecamatan Blora Kota, Kabupaten Blora, Selasa (17/07/2018). Budaya gotong-royong, unggah-ungguh, asah, asih dan asuh sebagai ciri khas adat Indonesia telah memudar sehingga intoleransi terus berkembang menjadi radikalisme dalam kedok agama.
Budiyanto dalam paparannya menerangkan, perkembangan radikalisme agama, radikalisme sekuler dan terorisme di Indonesia menjadi sebuah ancaman serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini menjadikan sejumlah daerah terindikasi menjadi lahan subur bagi berkembangnya paham radikal-teror.
Disebutkan, pada Agustus 2017 terdapat tiga warga Jawa Tengah ditangkap Densus 88 di dua tempat yang berbeda, yakni, satu orang ditangkap di Karanganyar dan dua orang terduga teror berhasil diciduk di Kabupaten Tegal. Berikutnya, sejumlah lima orang warga Jateng diamankan Densus 88 di empat lokasi berbeda pada Juni 2017, Gunung Kidul Daerah Istimewa Jogjakarta, Temanggung, Kendal, dan Kabupaten Tegal. Pada Mei 2017 terduga teroris dibekuk Densus di Sukoharjo, April 2017 empat warga Jateng terlibat jaringan terorisme. Mereka tewas dalam sebuah peristiwa baku tembak dengan polisi seusai menjalankan aksinya di Tuban, Jawa Timur.
Pada bulan yang sama, ungkapnya, terjadi dua peristiwa teror di Gereja Jago Ambarawa, Kabupaten Semarang, Kasus Teror di Mapolres Banyumas. Pada Februari 2017, dua terduga teroris asal Boyolali diringkus setelah diduga terlibat jaringan Neo JI. Terlebih kasus terbaru terjadi di Jogjakarta, penyerangan jemaat dan perusakan patung Yesus dan Bunda Maria di Gereja Santa Lidwina Sleman Jogjakarta yang menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat.
Melalui forum tersebut, Budiyanto mengajak pada seluruh elemen masyarakat yang hadir untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap modus operandi teroris, koordinasi dalam mendeteksi secara dini, menangkal, mencegah dan menangkap kelompok teroris, memperkuat ikatan sosial dan keluarga untuk menangkal aksi rekrutmen dan doktrinasi paham radikal-teror.
Radikalisme berkedok agama Islam, kata Budiyanto, setidaknya digolongkan dalam tiga hal. Yakni, kondisi terkait politik dan ekonomi dengan isu gerakan anti barat, proses-proses global yang mengusung arabisasi dunia non-Arab. Mereka banyak sekali memanfaatkan situasi politik yang ada. Termasuk konflik Palestina-Israel.
Budiyanto juga mengingatkan bahwa peran FKPT bersama masyarakat adalah mencegah paham radikal teror. Yakni, memerangi paham radikal teror di masyarakat. Bukan memerangi pelaku atau orang yang terindikasi paham radikal-teror. (arh-sorotindonesia)