Jakarta – Konflik internal di PT Banyuwangi Internasional Yacht Club (BIYC) semakin memanas setelah salah satu pemegang saham, John Lundin, warga negara Swedia, menutup akses masuk ke kawasan tersebut dan mengajukan gugatan hukum terhadap pihak manajemen perusahaan.
Pantauan di lapangan Gedung BIYC, tampak disegel dan digembok yang dilakukan oleh sejumlah orang dari pihak John Lundin.
Gugatan ini telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Banyuwangi dengan nomor registrasi 47/pdt5/2005/PNBYW, Isinya antara lain menuding adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan dirinya sebagai pemegang saham.
Lundin, yang memiliki 25% saham di BIYC bersama rekannya asal Banyuwangi 25% saham Lizza Lundin (notabene Istri John Lundin) mengklaim bahwa mereka mengalami tindakan sewenang-wenang dari pihak lain dalam pengelolaan perusahaan.
Sementara itu, kuasa hukum manajemen BIYC, Eko Sutrisno menyebutkan klien yang diwakilinya berhak untuk mengosongkan asset perusahaan sesuai kesepakatan para pemegang saham.
“Selaku kuasa hukum klien kami, kami akan melaksanakan kesepakatan yakni akan mengosongkan asset perusahaan yang ada di dalam gedung,” ujar Eko Sutrisno, S.H., kepada awak media, di Banyuwangi, Jumat (07/03/2025).
Dengan kondisi pintu digembok dengan rantai, pihaknya selaku kuasa hukum BIYC, Eko Sutrisno menegaskan bahwa langkah tersebut dilakukan sesuai hukum dan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Namun, pihak John Lundin bersikeras bahwa tindakan tersebut melanggar haknya sebagai pemegang saham.
“Kami telah mengirimkan surat resmi kepada para pengacara John Lundin untuk mengosongkan aset perusahaan sesuai perjanjian yang berlaku,” ujar Eko.
Eko menambahkan bahwa pihaknya juga memberikan tembusan surat untuk mengosongkan aset pada tanggal 8-10 Maret 2025, juga ditembuskan ke Kapolresta Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi.
Ketika ditanyakan penyebab konflik internal BYIC, Eko menyatakan bahwa persoalan tranparansi keuangan manajemen sebelumnya.
“Sebenarnya, antar mereka (para pemegang saham) adalah saling mengenal dan berkawan, namun karena tidak adanya transparansi laporan keuangan, menjadi pemicu konflik, yang berujung pada penutupan BIYC tersebut,” papar Eko.
Lebih lanjut, Eko mengungkapkan bahwa selain gugatan terkait perbuatan melawan hukum, ada indikasi permasalahan lain yang lebih besar.
“Jika sebuah perusahaan tidak menerbitkan laporan keuangan yang akuntabel, tentu akan mempengaruhi pembayaran pajak ke negara, bisa saja mengarah pada TPPU (tindak pidana pencucian uang),” papar Eko Sutrisno.
Lebih lanjut Eko menambahkan, bahwa konflik yang melanda BIYC dinilai berpotensi mengganggu iklim investasi di Banyuwangi, mengingat BIYC merupakan salah satu entitas bisnis yang bergerak di sektor pariwisata dan maritim, yang seharusnya menjadi daya tarik bagi investor asing.
“Penutupan ikon Banyuwangi ini sangat disayangkan, karena bukan hanya mengganggu imej investasi di Banyuwangi, juga berdampak pada banyak pihak kehilangan pekerjaan,” pungkas Eko.*