Kaum Intelektual Harus Menjunjung Keadilan Nilai Nilai Universal. Entah dari mana pemikiran sempit itu muncul, yang jelas fanatisme agama baik dalam lingkup kecil seperti kampus atau masyarakat secara luas merupakan tantangan besar bagi kita dalam berbangsa dan bernegara.
Menurut plato, kampus adalah propopuli discimus (kita belajar untuk rakyat) ternyata jadi tanah lapang bibit-bibit fanatisme tumbuh. Bahwa kampus yang konon mempunyai fungsi Tri Dharma perguruan tinggi pendidikan, penelitian, pengabdian jauh dari harapan ideal dan kenyataan.
Berbicara fanatisme seperti kasus di atas, tidak cukup menyadarkan segala macam dan solusi kepada pihak yang secara struktual terkait dengan kampus. Kampus tidak berdiri sendiri ; ada masyarakat, keluarga, ormas dan keagamaan sampai organisasi kemahasiswaan ekstra yang turut serta berada di dalam lingkungan itu dengan kapasitas kepentingan yang beragam.Lantas bagaimana peran pihak-pihak tersebut bertanggung jawab menjaga keutuhan indonesia dari bahaya fanatisme agama dalam lingkup paling kecil seperti kampus?
Meminjam pendapat peneliti sosial dan laboratorium UIN sunan kali jaga yogyakarta Ahmad Riyadi yang mengatakan, intelektuan anti intekstualitas. Ada dua pengertian tentang kaum intelektual.
Pertama adalah pengertian tentang kaum intelektual yang harus menjaga jarak dengankekuasaan, kedua yaitu, laum intelek harus melakukan keberpihakan terhadap kelompok tertentu sebagaimana termaktub dalam Gramscian. Tetapi diartikan bagaimanapun kaum intelektual harus berpihak pada kejujuran dan kebenaran di tengah perubahan dan tantangan sosial.
Bisa jadi itu yang dilakukan soekarno hatta, tan malaka, mbah hasyim, mahbud djunaedi sampai cak nur dan gusdur sebagai kaum intelektual. Mereka adalah kaum intelektual yang mendedikasikan ide, gagasan, bahkan hidupnya kepada kelompok-kelompok minoritas yang mengalami ketertindasan oleh kekuasaan, dan menjujung keadilan serta nilai-nilai universalitas kemanusiaan.
Di tengah ancaman fanatisme agama yang dewasa ini muncul; penolakan terhadap nilai-nilai universalitas kemanusiaan jelas menunjukan semakin menggejalanya tindakan intoleransi yang memecah bangsa dalam bingkai NKRI. Kaum intelektual (baca:kader) organisasi kemahasiswaan, harus menunjukan keberpihakannya; menjaga kesatuan indonesia dari bahaya fanatisme agama untuk menjaga keutuhan bangsa dan kebhinekaan.
Kaum Intelektual Harus Menjunjung Keadilan Nilai Nilai Universal
Kendati persoalaan itu sudah tampak di kelopak mata beserta bahayanya. Hal itu tak banyak di perhatikan oleh oeganisasi kemahasiswaan. Fanatisme muncul akibat pengklaminan kepercayaan paling baik kelompok tertentu ketimbang kelompok lainnya. Sebagaimana tertera dalam buku kala agama jadi bencana (charles kimbal 2013). Budi gunawan dalam artikelnya berjudul “Horor Fanatiame” mengatakan, gagasan besar yang tertindas dalam kultut modern adalah tuhan. Ia menilai, dalam kultut modern fanatisme agama kian tak terbendung, bahkan dengan wajah teror dan pembunuhan.
Parahnya mereka yang melakukan adalah mengaku lebih dekat dengan tuhan (koloni keadilan, 2006). Dalam masyarakat kita sekarang ini, apa yang dikatakan kimbal maupun budi gunawan nyatanya menemukan relevansinya. Kaum agamawan nyaris lupa menghadirkan agama yang manusiawi. Pluralitas masyarakat di aspek budaya, agama dan ideologi diindahkan karena klaim berlebihan terhadap kebenaran kelompoknya sendiri.
Dampaknya memandang kelompok lain yang berbeda, adalah “najis” sehingga harus dimusnahkan. Gerakan mahasiswa harus kembali ke tengah-tengah kesulitan dan problem masyarakat. Mereka hadir denga seperangkat dan kadar intelektual untuk mewacanakan agama dan tuhan denga sepirit humanis. Karena bagaimanapun, keutuhan bangsa indonesia tidak bisa di lepaskan dari peran agam, baik secara nilai maupu gerakan.
Jangan sampai fakta ini dinodai dengan munculnya gerakan-gerakan fanatisme yang justru membawa agama pada keburukan. Dan itulah tugas gerakan mahasiswa hari ini, mewacanakan agama yang humanis sebagai counter gerakan fanatisme agama.***