JAKARTA – Pengacara kondang yang juga alumni Universitas Indonesia (UI), Deolipa Yumara, soroti penangguhan gelar doktor untuk Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, di Program SKSG (Sekolah Kajian Strategik dan Global) UI. Menurutnya, program tersebut sarat dugaan muatan kolusi atau praktik jual beli gelar yang berpotensi menciderai kredibilitas UI.
Hal tersebut disampaikannya kala berbincang dengan awak media pada hari, Jumat (15/11/2024) kemarin di Kampus UI, Depok.
“Ketika sudah ada penangguhan, berarti sudah ada tanda tanda ini ada proses yang tidak benar. Saya juga sudah bicara dengan teman-teman di kampus. Ini katanya akan ada proses kode etik untuk memeriksa pihak-pihak yang terkait. Sebenarnya ini bukan kesalahan Pak Bahlil, siapapun yang pengen masuk (ke SKSG), masuk, kalau masi ada ruangnya. Nah, ini ada ruangnya untuk diberi kesempatan di mana para pejabat, para praktisi, para yang punya uang boleh ikut pendidikan gelar doktor di UI ini, kemudian mudah sekali lulusnya,” paparnya.
Deolipa mengambil persoalan gelar akademik yang dialami oleh Bahlil Lahadalia ini sebagai contoh untuk dicermati.
“Ini yang kita baca dari persoalannya Pak Bahlil, menteri yang dikenal aktif, kemudian bisa menyelesaikan disertasi dan menyelesaikan program dengan bagusnya, kemudian lulus dengan cumlaude. Ya, kami meragukan. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan mudah meraih gelar doktor? Jika ini terus terjadi, kepercayaan terhadap kualitas akademik UI akan terguncang,” ujar Deolipa.
“Seorang Pak Bahlil yang jabatannya banyak, pekerjaannya lengkap, tiba-tiba disertasi lulus aja. Walaupun ada dugaan plagiat, ada juga protes dari Jatam, Jaringan Tambang, di mana dokumen-dokumen mereka dipakai tanpa izin, ini juga jadi persoalan tersendiri. Tapi yang penting bukan disananya, yang terpenting adalah adanya persoalan di UI sendiri. Program SKSG yang kelihatannya eksklusif, tapi kemudian membawa nama buruk bagi kampus Universitas Indonesia,” tambahnya.
Deolipa mengkritik adanya kesenjangan besar antara program reguler di UI dengan program multidisipliner seperti SKSG. Menurutnya, mahasiswa di program reguler harus menghadapi proses yang sangat ketat untuk menyelesaikan studi pasca sarjana, baik jenjang S2 maupun S3. Namun, kondisi berbeda terlihat di SKSG.
“Program pasca sarjana yang reguler, setengah mati untuk lulus baik di jenjang S2 maupun S3. Nah, ini ada orang dari luar karena punya jabatan dan uang, tiba-tiba lulus jadi doktor, dengan alasan praktisi atau sudah berpengalaman. Disinilah indikator adanya dugaan penyimpangan adanya kolusi antara akademisi dan pejabat atau dengan orang yang punya uang,” tudingnya.
Ia juga menduga adanya kolusi antara pihak akademisi dengan peserta program SKSG yang berasal dari kalangan pejabat atau orang berpengaruh. Kolusi ini, menurutnya, menciptakan celah untuk mempermudah kelulusan tanpa melalui standar akademik yang ketat.
“Kita menduga adanya kolusi antara orang yang mau ikut program SKSG serta dengan mereka yang menjalankan program itu. Makanya kemudian UI mengadakan yang namanya kode etik, tapi siapa yang menjabat disini? nah kita khusus kepada Pak Bahlil ini yang diproses dan ditangguhkan, ada kejanggalan disana. Kita masuk pada siapa yang ada disana. Pak Bahlil dalam program doktor ini, dia ada co-promotor, co-promotor ini adalah Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UI, sebagai pembimbingnya langsung. Kemudian promotornya adalah Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI,” ungkap Deolipa panjang lebar.
Oleh karena itu, lanjutnya, sebagai salasatu alumni dan aktivis UI, Deolipa meminta dua dekan tersebut, termasuk direktur program SKSG untuk diproses, dan bilamana terbukti ada penyimpangan, diberhentikan atau mundur dari jabatannya.
“Jadi saya sebagai salasatu alumni dan aktivis UI, meminta Dekan FEB dan Dekan FIA supaya diproses dan bilamana terbukti, diberhentikan. Atau kalau mau, mereka harus mundur dari jabatannya selama proses ini. Dengan surat UI yang kemarin beredar di masyarakat, surat penangguhan, sebenarnya yang dipermalukan adalah UI sendiri,” tegasnya.
Selain itu, Deolipa mendukung langkah UI yang membekukan sementara waktu program SKSG yang awalnya dirancang sebagai program multidisipliner untuk praktisi. Langkah ini, menurutnya, merupakan bentuk tanggung jawab akademik UI terhadap masyarakat.
“Makanya, kita minta ketika sudah ada penangguhan dari UI, moratorium sudah keluar, direkturnya (Program SKSG) mundur, kemudian promotor dan co-promotornya juga mundur dari jabatannya di UI,” ujar Deolipa lagi.
Deolipa juga mengatakan bahwa bersama rekan alumni UI lainnya berkomitmen akan ikut mengawal proses tersebut sampai tuntas untuk mengembalikan integritas dan kredibilitas kampus UI.
“Kami selaku alumni UI akan mengejar supaya ini cepat beres dan kredibilitas UI juga dapat dipertahankan secara kualitas,” tandasnya.*