Budaya Politik Uang dan Penegakan Hukum

oleh -

Politik uang diprediksi tetap bakalan marak. Kesadaran berpolitik yang sehat dan bersih masih sulit untuk diwujudkan. Praktik politik uang dalam pemilu, meskipun hal itu pelanggaran, sudah bukan rahasia lagi. Jual beli suara sudah menjadi kultur demokrasi di Indonesia yang diwarnai oleh masyarakat miskin dan kesadaran politik rendah.

Praktik jual beli suara, akan menyebar secara merata di daerah-daerah terutama yang banyak masyarakat miskinnya. Penyebab maraknya politik uang juga tak lepas dari tingkat kesadaran berpolitik yang rendah, baik dari masyarakat maupun dari pihak calon kepala daerahnya. Politik uang atau lebih tepatnya disebut vote buying sulit untuk dilepaskan dalam pemilihan kepala daerah.

Dari kategori pemilih dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Akan memilih dan langsung menyatakan dukungan pada pasangan calon.
2. Akan memilih, tetapi rahasia dalam menyatakan pilihannya.
3. Masih ragu-ragu, sambil menunggu proses sosialisasi dalam kampanye.
4. Masih ragu-ragu sambil menunggu ajakan dari teman.
5. Masih ragu-ragu sambil menunggu dana dari calon.
6. Masih ragu-ragu karena takut salah pilih.
7. Tidak akan memilih karena tidak ada pengaruh pada pemilih.
8. Tidak akan memilih, karena tidak ada calon yang cocok.
9. Tidak akan memilih, karena tidak mengenal calon.
10. Tidak akan memilih, karena memang tidak mau memilih.

Gary Goodpaster dalam buku Refleksi tentang Korupsi di Indonesia, ( Jakarta: USAID,2001), h. 14 mendefinisikan politik uang dalam konteks norma hukum Pemilu. Dalam studinya, Ia mendefinisikan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi
dalam proses-proses Pemilu, yang meliputi pemilihan presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Gary Goodpaster, kemudian menyimpulkan
bahwa politik uang merupakan transaksi suap-menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan.

Secara sadar atau tidak, politik uang itu sudah menjadi budaya yang bertentangan dengan hukum. Namun memang sangat sulit untuk membuktikan adanya politik uang karena si pemberi dan si penerima uang tidak diketahui orangnya dan tidak ada bukti. Sehingga politik uang harus dimaklumi atau boleh menyuap karena dianggap tidak berlawanan dengan hukum, menggunakan uang untuk menarik dukungan atau suara. Hal ini bisa dilakukan sebelum, saat pelaksanaan, atau setelah pemilihan kepala daerah.

Baca Juga:  Politik Uang Menjadi Potensi Pelanggaran Pidana Pemilu

Bagaimana uang itu sangat berperan penting dalam dunia politik untuk memperoleh kekuasaan. Politik dan uang adalah dua hal yang sangat dekat dan tidak dapat dipisahkan. Uang dalam dunia politik sangat diperlukan sebagai sumber daya, atau modal untuk mempersiapkan teknis pemilihan pemimpin, hingga pelaksanaan teknis pemilihannya.

Budaya politik yang beranggapan bahwa kemenangan bisa dibeli dengan politik uang adalah perilaku melebihkan dan pamrih atau mengharapkan dukungan.

DPSP

Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa program membangun jalan, pemberian jetpam, memobilisasi massa dengan dijanjikan uang dana transportasi, memperbanyak sembako, souvenir, membagikan kalender.

Padahal, kemenangan didapat dari gabungan antara figur dengan mesin politik yang menggerakkan.

Penegakan hukum money politik

Dalam bahasa undang-undang, manajemen Pemilu bisa disebut
dengan pelaksanaan tahapan. Pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan. Yang terakhir, penegakan hukum Pemilu meliputi penanganan pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran kode etik penyelenggara; serta penyelesaian perselisihan meliputi perselisihan antar peserta dan atau
antar calon, perselisihan
administrasi Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.

Undang – Undang No. 10 Tahun 2016 pasal 73 ayat (1) menjelaskan bahwa

Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.

Pada pasal tersebut juga ada penjelasan yaitu, di angka 28 pasal 73  ayat (1) sebagai berikut:

Yang tidak termasuk memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.

Dalam prakteknya penegakan hukum hanya dilakukan terhadap orang yang tertangkap tangan memberikan uang agar dalam pemilihan daerah memilih calon tertentu. Padahal orang yang tertangkap tersebut hanya merupakan suruhan pihak lain, misalnya Tim Kampanye, Tim Sukses maupun Calon Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah. Penegakan hukum sangat lemah dan tidak efektif serta tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku praktik politik uang.

Baca Juga:  Politik Uang Menjadi Potensi Pelanggaran Pidana Pemilu

Jarang sekali bahkan mungkin belum pernah terjadi, penegakan hukum dilakukan terhadap calon kepala daerah maupun wakilnya yang kedapatan melakukan pemberian uang atau materi lainnya yang dikenal dengan istilah politik uang untuk memenangkan pasangannya dilakukan secara transparan, apalagi sampai di pengadilan.

Tidak adanya sanksi pidana untuk praktik politik uang dalam UU Pilkada ini, tetapi ada ketentuan pembatalan calon kepala daerah jika terbukti di pengadilan melakukan tindakan itu.
Namun tindakan politik uang itu masih bisa dipidana dengan menggunakan KUHP atau aturan lain.

Dalam UU KUHP, yaitu pasal 149 ayat (1) dan (2) untuk menjerat pelaku politik uang.
Ayat 1 berbunyi barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.
ayat 2 pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.

Dalam bahasa hukum tindak pidana materil baru dianggap selesai apabila akibat yang dikehendaki benar-benar terjadi. Maksudnya, mempengaruhi seseorang untuk tidak memilih atau memilih seseorang, jika dapat dibuktikan bahwa orang tersebut memilih atau tidak memilih karena ada uang yang dijanjikan, maka tindak pidana itu terpenuhi. Namun, jika tak ada bukti yang bisa menunjukkan adanya politik uang beserta dampaknya secara nyata, proses pidana bisa gugur.

Untuk itu perlu upaya pencegahan bersama sama karena tugas pencegahan politik uang tersebut bukan hanya tugas penyelenggara, melainkan masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama. Yang jelas praktik politik uang dan transaksi politik bukan tindakan yang mendidik di era demokrasi ini. (Gunarko).

Gunarko, Dewan Pembina Masika ICMI Kabupaten Bekasi

Comments

comments