Berpotensi Disalahgunakan oleh Oknum, Sejumlah Warga Ajukan Uji Materiil Pasal 18 Ayat (1) UU Polri ke MK

oleh -
Berpotensi Disalahgunakan oleh Oknum, Sejumlah Warga Ajukan Uji Materiil Pasal 18 Ayat (1) UU Polri ke MK
Mahkamah Konstitusi gelar sidang pendahuluan Pengujian UU Polri, Kamis, (03/07/2025), dengan agenda memeriksa permohonan Pemohon. [Foto Humas/Ilham WM.]

JAKARTA – Warga negara perseorangan mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Christian Adrianus Sihite (Pemohon I), Idon Setiawan (Pemohon II), Riski Saputra Huta Barat (Pemohon III namun mengundurkan diri), dan Yondi Jonathan Hasibuan (Pemohon IV) memohonkan uji materiil Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Polri ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 101/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan dua hakim anggota yakni Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani dari Ruang Sidang Pleno MK.

Menurut para Pemohon, keberadaan Pasal 18 ayat (1) UU Polri, yang berbunyi: “(1) untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri ” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebagai Pejabat Kepolisian, kekuatan Polri menurut para Pemohon berfungsi untuk kepentingan masyarakat dan pelaksanaan fungsi Polri. Oleh karena itu, para Pemohon berkepentingan untuk memastikan kekuasaan yang dimiliki oleh Pejabat Polri dapat terkontrol, termasuk pembatasan tugas dan kewenangan seseorang pejabat Polri yang bertindak menurut penilaian sendiri.

Akan tetapi, Pemohon mendalilkan norma hukum dalam Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian tersebut dinilai menimbulkan ketidakjelasan suatu tindakan pejabat Polri yang diberikan hak untuk bertindak menurut penilaian sendiri. Ketidakpastian hukum tersebut berimplikasi terhadap lemahnya kontrol hukum terhadap pejabat Polri. Tanpa adanya batasan tugas yang jelas, seorang pejabat Polri dapat menyimpangi tugas dan kewenangannya karena penilaiannya sendiri tersebut dapat didalihkannya untuk kepentingan umum.

Baca Juga:  MK Rombak Sistem Pemilu, Pemilu Nasional dan Daerah Resmi Dipisah Mulai 2029

Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang berbunyi, ‘Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Aditia Pratama selaku kuasa hukum dalam sidang yang digelar pada Kamis (3/7/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.

Kerugian Konstitusional

Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyebutkan belum memperjelas legal standing dan kerugian konstitusional para Pemohon atas keberlakuan pasal yang diujikan.

“Kerugian atas berlakunya pasal ini belum ada, bagaimana ini dapat menyakinkan Mahkamah bahwa papar Pemohon mempunyai legal standing atas pengujian pasal ini. Lihat permohonan Perkara 84/PUU-XXIII/2025 dan 93/PUU-XXIII/2025 yang juga mengujikan hal yang sama, sehingga Pemohon ini dapat mempelajari dan memperkuat pada bagian alasan-alasan permohonannya supaya tidak dinyatakan nebis in idem,” jelas Ridwan.

DPSP

Sementara Hakim Konstitusi Arsul Sani mengingatkan Pemohon bahwa pasal yang diujikan para Pemohon tergolong sering diujikan ke MK, sehingga perlu bagi para Pemohon membaca putusan-putusan MK terdahulu.

Baca Juga:  Sidang Perdana Sengketa Pilkada Muara Enim 2024 di MK, OC Kaligis : Gugatan Paslon HNU - Lia Anggraini

“Misalnya Putusan MK Nomor 42/PUU-XI/2013, pada perkara ini permohonan Mahkamah menyatakan tidak dapat diterima karena kerugian konstitusional Pemohonnya tidak diuraikan dengan jelas. Jika ini diteruskan, maka agar nasib permohonan tidak sama dengan perkara tersebut maka pelajari semua putusan-putusan MK yang terkait dengan objek pada permohonan ini,” saran Arsul.

Sedangkan Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan penegasan agar para Pemohon dapat membuat dasar hukum baru dan alasan hukum baru di dalam penjelasan permohonannya dengan baik. Sehingga dapat memenuhi ketentuan yang termuat pada Pasal 78 PMK 2/2021.

“Oleh karenanya kita serahkan kepada para Pemohon, karena permohonan serupa telah juga diputus tadi pagi. Sehingga perlu bagi para Pemohon memikirkan betul alasan dan dasar hukum barunya,” terang Saldi.

Pada akhir persidangan, Saldi yang juga Ketua Panel Hakim menyebutkan para Pemohon dapat menyempurnakan permohonan selama 14 hari. Kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 16 Juli 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya akan diagendakan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonannya. (*)

Comments

comments