Viral Pawang Hujan Rara Istiani Di Ajang MotoGP Mandalika, Abah Landoeng : Itu Mah Kearifan Lokal

oleh -
Viral Pawang Hujan Rara Istiani Di Ajang MotoGP Mandalika, Abah Landoeng : Itu Mah Kearifan Lokal
Abah Landoeng.

BANDUNG — Abah Landoeng pria multi faceted yang disebut sebut ‘legenda hidup’ kelahiran Bandung tahun 1926, tanggapi terkait aksi pawang hujan Rara Istiani Wulandari yang bikin heboh seantero jagat saat gelaran MotoGP 2022 di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat, yang digelar pada hari, Minggu (20/3/2022).

Lelaki yang dikenal sebagai pensiunan guru ‘aljabar’ SMPN 5 Kota Bandung ini pun angkat bicara, (21/3/2022)

“Abah selain kagum sama Mbak Rara atas upayanya membantu memperlancar jalannya MotoGP di Mandalika pada Minggu (20/3/2022), pakai rekayasa cuaca ala tradisi atau itu kearifan lokal, ya bagus-bagus saja. Hanya, disayangkan mengapa masih ada yang menertawakan, malahan katanya bikin malu bangsa, kenapa ya kita koq seperti tak percaya diri?,” ungkap Abah Landoeng kepada media. Diketahui, Abah Landoeng ini pada usianya yang ke-75 tahun pernah pergi seorang diri berhaji ke Tanah Suci Arab Saudi, hanya berbekal tekad baja dengan menggowes sepeda onthel.

”Itu saat Mbak Rara beraksi di Mandalika, dan Abah juga baca di medsos, selain banyak yang mengaguminya ada juga yang berteriak dengan nada cemooh. Tetapi sudahlah itu, ini kan kekayaan adat istiadat dan budaya kita. Sama sekali tidak melawan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Intinya, pawang hujan itu berdamai dengan kekuatan yang supra natural, untuk merekayasa sejenak kondisi cuaca. Tak ada yang salah kan?” ujarnya sambil menambahkan – “Boleh percaya atau tidak Abah juga diberi kemampuan sejak tahun 1954 dari Pak Karno Presiden RI I sebelum KAA 1955 di Kota Bandung. Sampai sekarang masih ada. Alhamdulillah, tiap minggu apalagi kalau musim hujan ada saja orang yang manggil.” kata Abah yang juga pawang hujan dan masih aktif mengikuti zaman dengan menggunakan smartphone.

Masih kata Abah Landoeng terkait viralnya Mbak Rara di Mandalika pada hari Minggu lalu, “Ternyata dia itu kan bagian dari tim modifikasi cuaca yang kerjasama dengan BMKG. Biasanya kan menebar garam NaCl dalam beberapa kali shorty penerbangan di seputar Mandalika,” ujarnya.

“Jadi kalau masih ada yang mencemooh aksi Mbak Rara di Mandalika, ya padahal mah biarkan saja, ini kan bagian dari kearifan lokal kita saja,” yang diketahui Abah Landoeng biasanya untuk melakukan jasa pengendalian hujan ini ternyata tak sembarangan.

“Biasa, Abah melakukan puasa beberapa hari sebelumnya. Kalau di lapangan pas waktunya (hari H), hanya beberapa botol air mineral dan dan beberapa bungkus rokok untuk diambil asapnya. Asap ini, sebagai simbol untuk memindahkan awan bibit hujan itu sementara saja” jelasnya lagi.

Berlanjut tentang fungsi garam serta unak-anik lainnya, yang ternyata dalam modifikasi hujan banyak digunakan dalam jasa pawang hujan selain di Indonesia, yang terkadang dilakukan juga di Afrika Selatan, Jepang, Thailand, termasuk di Inggris dengan pendekatan yang modern dan berbiaya cukup mahal, kata Abah Landoeng:

“Sebaiknya kita bersyukur punya akar budaya yang cukup dalam di berbagai daerah. Khusus untuk memindahkan sementara awan yang mengandung air hujan, ini sih boleh percaya atau tidak,” tutupnya dari kediamannya bersama Ibu Sani di Jl. Sentral Cibabat betulan Gang Jameng, Cimahi, Jawa Barat.

Kata Kang Asep dan Tedy Ruswandi

Secara terpisah, redaksi mengontak warga Kota Bandung yang tinggal di daeah Pasteur, ini sesuai tuturan Abah Landoeng. ”Coba minta pendapat dari Kang Asep GP yang tahu persis dan pernah melakukan kajian cukup mendalam tentang tradisi pawang hujan sebagai kearifan lokal bangsa kita,” ucapnya.

“Saya beberapa kali pernah mengikuti para pawang hujan di beberapa daerah di Jawa Barat, memang keahlian ini sebagai kekayaan bangsa kita. Tak usah dipandang sebelah mata,” ujar Kang Asep saat dihubungi.

Ditambahkannya, “Sejak tahun 1970-an kala saya masih usia SD di Bandung, jasa pawang hujan ini kerap digunakan dalam berbagai acara, seperti khitanan, pernikahan, hingga pawai saat Marching Band Unpad SPDC tahun 80-an, cukup ampuh memindahkan hujan, dan acara jadi sukses, tapi ya percaya atau tidaklah, tergantung keyakinan kita,” tutupnya.

Walhasil, perkara viral aksi Mbak Rara Istiani di Sirkuit Mandalika baru-baru ini, menurut beberapa kalangan yang redaksi hubungi, menanggapi bahwa kegiatan pawang hujan tersebut sebagai gimmick.

”Anggap saja sebagai gimik atau adegan yang khusus dan menarik perhatian. Ini kan sebagai pemanis kalau kita menawarkan barang dalam ilmu marketing,” papar Tedy Ruswandi (43) seorang yang membidangi sales marketing dunia otomotiv di Kota Bandung.

“Buktinya, setelah ada aksi pawang hujan di Sirkuit Mandalika, yang heboh tidak hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Ini jadi pintu masuk, kalau pandemi Covid-19 usai, pasti turis mancanegara pada datang ke Mandalika. Ini hikmah lain dari pawang hujan, yang memikat jutaan pasang mata penonton siaran langsung TV sedunia,” pungkas Tedy Ruswandy.

[HS/St]

Comments

comments