Sejarah Papua bagian barat dalam kaitannya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menyimpan cerita yang panjang. Walaupun Papua “agak terlambat” diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari NKRI, namun sebenarnya sejak awal penduduk Papua sudah merupakan “keluarga besar” penduduk yang mendiami wilayah Nusantara yang kemudian bergabung dan membentuk Negara Indonesia. Terwujudnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tujuan utama, akan tetapi belum sesuai harapan, masih menimbulkan permasalahan khususnya di Papua.
Berikut ini upaya-upaya yang telah dilakukan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua:
- Konferensi Meja Bundar 1949
Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap menguasai wilayah Papua. Perjuangan yang ditempuh yaitu melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 tahun kemudian.
- Trikora
Pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Jogjakarta, Presiden Pertama Indonesia Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI. Peristiwa ini muncul karena Belanda mengingkari kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB), membentuk Dewan Nasional Papua (embrio OPM) dan mendeklarasikan negara boneka tanggal 1 Desember 1961.
- New York Agreement
Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Belanda akhirnya mau menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962. Agar Belanda tidak kehilangan muka, perundingan NYA mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalui referendum (PEPERA).
- Referendum (PEPERA)
Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia sebelum akhir tahun 1969 wajib menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Dalam pelaksanaannya musyawarah PEPERA di tiap kabupaten dihadiri oleh Ketua dan para anggota DMP, Menteri Dalam Negeri/Ketua Perutusan Pemerintah Pusat, Menteri Luar Negeri, Utusan Sekretaris Jenderal PBB dipimpin oleh Duta Besar Ortiz Sanz, beberapa Duta Besar Negara-Negara sahabat, wartawan-wartawan dalam dan luar Negeri, serta Para Peninjau. Hasilnya, masyarakat Papua menghendaki bergabung dengan NKRI. Papua menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian Jaya. Keputusan ini ditentang OPM dan sejumlah pengamat independen yang diprovokasi Belanda.
Tokoh sejarah Papua, Frans Albert Joku melalui Redaksi Papua Pos mengatakan, Papua bukan dianeksasi, bukan berintegrasi dan diintegrasikan atau digabungkan dengan NKRI, karena berintegrasi atau bergabung adalah proses masuk dari luar ke dalam Indonesia. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berdasarkan azas uti prossidentis juris, Papua adalah bagian dari Indonesia namun ditahan oleh Belanda untuk sementara waktu dan diserahkan kepada Indonesia melalui proses Pepera. Jadi yang tepat, Indonesia merebut kembali Papua/Irian melalui jalan diplomasi. “Karena itu istilah yang tepat adalah Papua/Irian ‘diperoleh kembali’ atau ‘masuk kembali’ Papua ke NKRI, bukan diintegrasikan”.
Melihat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, pendapat tokoh pejuang Papua, Ramses Ohee memaparkan fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. “Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpah Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu”. Mantan anggota DPRD Kabupaten Jayapura pada 1990-an pada tanggal 30 April 2015, mengungkapkan bahwa “Papua sudah sah ke pangkuan ibu pertiwi, ke NKRI lewat Pepera yang dilaksanakan pada 1 Mei 1969 dan telah disahkan oleh PBB”.
Fakta-fakta dan sejarah perjuangan Indonesia ini sebagai bukti nyata bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia dan mendapat pengakuan yang sah dari dunia internasional. Sampai sekarang ini semakin banyak pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, terutama tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelompok OPM yang melakukan aksi kekerasan baik terhadap warga sipil maupun aparat keamanan dan perjuangan tokoh OPM secara politis, jelas disebut “Separatisme”. Kelompok Separatis Papua selama ini terus berupaya mencari dukungan dunia internasional dengan menciptakan opini terjadinya pelanggaran HAM di Papua, seolah-olah ada perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat maupun aparat keamanan kepada masyarakat Papua. Pemerintah sudah sepatutnya mengambil langkah tegas terhadap OPM, terutama pihak asing yang ikut campur dalam permasalahan Papua. Para aktivis dan LSM asing juga perlu diwaspadai karena apapun bentuk dan kegiatannya merupakan ancaman bagi pemerintahan Indonesia.
Oleh : Alvin Bonardo