Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica L.) selalu kita ingat sebagai tanaman yang mampu mengatupkan sendiri daun-daunnya saat disentuh atau ditiup. Gerak seismonasti ini merupakan upaya perlindungan diri yang dilakukan tanaman putri malu dari pengganggunya.
Namun, di balik keunikannya, tanaman ini menyimpan banyak khasiat bagi kesehatan tubuh. Sejak lama nenek moyang menggunakan tanaman kelompok perdu ini sebagai ramuan untuk mengobati dan menjaga kesehatan. Beberapa referensi etnofarmakologi menyebut tanaman ini digunakan sebagai salah satu campuran pengobatan asam urat.
Berbagai referensi ini menjadi ketertarikan Dosen Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Unpad Dr. Sri Adi Sumiwi, M.S., Apt., untuk meneliti lebih jauh tentang khasiat putri malu sebagai anti asam urat. Sejak 2013, penelitian ini dilakukan hingga telah melakukan uji toksisitas dan uji aktivitas.
Saat diwawancarai, Dr. Sri menjelaskan, penelitian ini menggunakan herba putri malu. Artinya, seluruh bagian selain akar (daun, batang, dan bunga) digunakan sebagai simplisia untuk membuat ekstrak. Herba yang sudah dikeringkan selanjutnya ditumbuk sampai halus sebelum dibuat esktrak.
Serbuk Herba putri malu diekstraksi dengan larutan etanol 70% dalam botol maserasi. Di dalam botol maserasi, larutan dan serbuk putri malu direndam sambil sekali-kali diaduk hingga mengeluarkan saripati. Proses ini dilakukan selama tiga hari. Setiap hari ekstraknya ditampung dan pelarutnya diganti dengan yang baru hingga terkumpul ekstrak yang cukup banyak.
Selanjutnya, ekstrak diuapkan dengan alat vakum evaporator. Pada alat ini, terjadi proses penguapan dalam suhu tidak terlalu tinggi agar zat aktif yang terkandung pada simplisia tidak rusak. Proses ini untuk memisahkan kadar alkohol dengan senyawa yang terkandung dalam ekstrak. Lama kelamaan, ekstrak mengalami proses pengentalan dan terpisah dari larutan alkoholnya.
Ekstrak yang mengental dipindahkan ke wadah lain. Di wadah ini, ekstrak diuapkan kembali di atas penangas air sehingga menjadi kental. Proses ini bertujuan menghilangkan kadar alkohol. Kadar air dalam ekstrak masih ada sedikit, tidak lebih dari 10% saja.
Selesai? Belum. Ekstrak putri malu ini selanjutnya dilakukan uji aktivitas secara preklinik dan toksisitas. Dr. Sri melakukan pengujian ekstrak tersebut. Dengan tetap berpedoman pada etilka penggunaan hewan dalam penelitian, ia melakukan uji toksisitas subkronik kepada hewan selama tiga bulan.
Prosesnya, hewan diberi ekstrak dengan jumlah dosis efektifnya. Pemberian ini secara terus menerus selama 90 hari. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap berbagai parameter fungsi organ dengan uji hematologi, biokimia klinik, indeks organ dan histologi.
Hasilnya, selama tiga bulan percobaan, ekstrak putri malu termasuk aman untuk digunakan dalam waktu lama. Penelitian sebelumnya sudah dilakukan uji toksisitas pada akut hewan coba dihasilkan LD50 sebesar 2 g/Kg BB yang termasuk dalam kategori praktis tidak toksik.
“Hampir semua obat sebenarnya memiliki efek toksik bila digunakan pada dosis yang berlebihan, oleh karena itu harus digunakan sesuai dengan dosis efektifnya,” ujar Dosen kelahiran Bandung, 10 November 1957 tersebut.
Uji aktivitas dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro dilakukan melalui penghambatan enzim. Uji ini melihat bagaimana aktivitas pencegahan pembentukan asam urat dengan menggunakan xantin yang seharusnya dengan enzim xantin oksidase akan terbentuk asam urat. Hasilnya ekstrak putri malu dapat menghambat enzim xantin oksidase sehingga ekstrak ini mampu menghambat pembentukan asam urat.
Pengujian in vivo dilakukan pada hewan coba tikus yang diinduksi dengan Kalium Oksonat sehingga kadar asam uratnya tinggi. Dengan pemberian ekstrak putri malu kadar asam uratnya menurun.
Dengan kata lain, ekstrak putri malu ini telah dapat dikategorikan sebagai herbal terstandar. Dr. Sri menjelaskan, ada tiga kategori obat herbal di Indonesia, yaitu jamu, herbal terstandar, dan fitofarmaka. Kategori jamu merupakan herbal yang belum dilakukan pengujian secara preklinis, atau diketahui memiliki khasiat berdasarkan data empiris.
Kategori herbal terstandar, obat herbal telah diuji secara preklinis, atau pengujiannya belum sampai ke tahap klinis . Secara singkat, obat herbal ini telah berdasarkan penelitian dan sudah diuji hingga tahap preklinis. Pada kategori ini, obat sudah boleh dibuat dalam bentuk seperti sediaan modern, yaitu tablet, kaplet, atau kapsul. Pada ekstrak putrimalu ini telah dibuat dalam bentuk sediaan tablet.
Sementara kategori fitofarmaka, obat herbal telah dilakukan pengujian secara klinis melalui media manusia. Namun, Dr. Sri mengungkapkan, tidak banyak obat herbal di Indonesia yang terkategori fitofarmaka.
Alasannya, pengujian fitofarmaka tergolong kompleks dan memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Sebab, pengujian ini menggunakan media manusia sebagai bahan percobaannya. “Ini tentunya harus membutuhkan persetujuan dari orangnya dan harus melakukan kerja sama dengan dokter medis,” imbuhnya.
Selain itu, proses uji klinis fitofarmaka memerlukan biaya yang sangat besar. Ini tentunya akan berdampak salah satunya kepada harga jual produk fitofarmaka tersebut. “Jika harganya mahal, konsumen tidak akan mau beli dan tetap memilih obat-obat sintetis,” kata Dr. Sri.
Penelitian tentang tanaman herbal sudah lama dilakukan Dr. Sri juga telah mendapat hibah penelitian berskala nasional. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional, maupun dipresentasikan di dalam seminar ilmiah nasional dan internasional. (*)