Sukabumi – Akhir akhir ini bentuk kekerasan paling menonjol adalah Kekerasan seksual pada anak, terjadi di banyak daerah di Indonesia, amat disesalkan kekerasan seksual pada anak tersebut juga terjadi di Kabupaten Sukabumi, ini bencana yg sangat mengerikan bagi masa depan bangsa kita, apalagi jika hal tersebut di atas tidak disikapi dengan upaya yang jelas, masiv, terencana dan terstruktur.
Seminggu yang lalu, Pemerintah Indonesia menetapkan bahwa saat ini kekerasan seksual pada anak yg terjadi di berbagai daerah di Indonesia sebagai Extra Ordinary Crime, sekaligus memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yaitu dengan menambah masa maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, serta memberikan hukuman tambahan berupa kebiri kimia, pemasangan chip, dan publikasi identitas pelaku.
Hukuman tersebut akan dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perlindungan anak khususnya kekerasan sexsual pada anak.
Bagi kami, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kabupaten Sukabumi menyambut baik Perppu perlindungan anak tersebut, Perppu tersebut merupakan langkah yang tepat dalam menyikapi keadan darurat kekerasan pada anak khususnya kekerasan sexsual pada anak yang memang sangat menghahawatirkan semua pihak, kalau revisi kan kelamaan, sedang keadaan lagi darurat, sangsi hukum tidak memadai. Untuk keadaan darurat perppu tersebut memang penting segera disahkan.
Akan tetapi Pemerintah secara Nasional, serta khusunya Pemda Kabupaten Sukabumi, harus segera pula membuat sistem perlindungan anak dan pencegahan kekerasan pada anak yg bersifat menyeluruh, berbasis masyarakat serta bekerja dalam satu pintu, pada tiap Desa ada satu tempat di mana di situ tersedia psykolog, Ahli Parenting, Polisi, Pengacara atau Pendamping hukum biar mempermudah korban sekaligus melakukan upaya-upaya pencegahan.
Sayangnya, unit dan prosedur ini belum tersedia di semua tingkat penyelenggaraan hukum dan belum didukung dengan fasilitas yang memadai. Di tingkat kultur atau budaya hukum, banyak penyelenggara hukum mengadopsi cara pandang masyarakat tentang moralitas dan kekerasan seksual. Akibatnya, penyikapan terhadap kasus tidak menunjukkan empati pada perempuan korban, bahkan cenderung ikut menyalahkan korban.
“Masih banyak korban-korban kekerasan pada anak yg tidak tau ke mana harus melapor, bagaimana cara melapor, menganggap aib dan malu untuk melapor belum lagi diintimidasi pelaku, diiming-imingi dan sogok ini kan tidak benar.” Ungkap Abdul Kirram.
Karena bagaimanapun tak cukup kalau cuma diperberat hukumannya saja, apa lagi kalau sulit prosedurnya pelaporannya, ini akan malah jadi menambah masalah tandas Komisioner KPAID Sukabumi Abdul Kirram.
Persoalan lain yang seringkali muncul adalah tidak tersedia perlindungan saksi dan korban yang mumpuni. Pada sejumlah kasus, korban tidak mau melaporkan kasusnya karena kuatir balas dendam pelaku. Korupsi dalam proses penegakan hukum yang begitu mengurat akar juga menjadi hambatan bagi perempuan korban yang kehilangan keyakinan bahwa ia akan memperoleh proses hukum yang adil dan terpercaya.
(Rizal/SII)