BANDUNG, sorotindonesia.com – Kemajuan teknologi informasi sudah demikian berkembang pada era globalisasi ini, terlebih teknologi komunikasi yang seakan sudah menjadi kebutuhan dasar setiap orang. Selain dari itu orang relatif sudah gampang mengakses informasi yang dibutuhkan untuk memudahkan aktifitasnya. Salah satu produk kemajuan teknologi informasi yang muncul bertujuan ekonomi adalah aplikasi jasa angkutan online yang peminatnya berkembang dengan pesat, seperti Uber, GRAB, Gojek dan lain-lain dan hal itu juga yang menjadi fokus dari PPRI (Perkumpulan Perusahaan Rental Indonesia).
Masuknya aplikasi online tersebut ke dunia bisnis transportasi nasional nyatanya mendapat respon beragam dari masyarakat Indonesia, dan sempat menimbulkan gejolak horizontal di kalangan pelaku bisnis transportasi. Diberbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Yogya, Bali dan Bandung aplikasi online jasa transportasi ini mendapat aksi penolakan oleh pelaku bisnis transportasi konvensional yang menganggap operasional transportasi online ini telah mengurangi pendapatan mereka, bahkan diantara aksi-aksi yang terjadi sampai masuk ke ranah pidana karena terjadi pengrusakan dan tindak pidana lainnya.
Untuk meredam gejolak itu, pemerintah merespon dengan mengeluarkan Permenhub No.32 tahun 2016 untuk mengatur tata operasional jasa angkutan berbasis online.
Permenhub ini ditanggapi positif oleh PPRI sebagai operator GRAB, “Di Jakarta armadanya sudah ada yang di KIR dan KIR ini adalah suatu proses yang dipersyaratkan oleh kementerian perhubungan”, ujar ketua PPRI Hendric Kusnadi saat ditemui oleh SII di halaman luar Gedung Sate, Kamis (9/3).
“Selain badan hukum dan KIR, pihaknyapun telah menyiapkan persyaratan lain seperti bengkel dan pool serta mobil atas nama badan hukum (koperasi)”, terang Hendric. “Jadi dari segi ijin atau melegalkan aplikasi ini di Jakarta sudah berjalan, persyaratan sudah disiapkan, tinggal menyaring armada untuk lulus uji KIR dalam kondisi plat hitam”, imbuhnya.
Namun pihaknya menyadari bahwa demo para sopir taksi dan angkutan umum konvensional yang terjadi di kota Bandung hari ini (9/3-red.) adalah akibat yang disinyalir diantaranya karena prosentase pendapatan yang menurun dan berkurangnya konsumen, dari perusahaan taksinyapun mungkin terjadi penurunan omset. Persoalan seperti ini yang belum kita prepare di Bandung, karena pergerakan aplikasi online dari Uber dan GRAB ini terlalu cepat.
“Jadi di Jakarta sudah menjalankan KIR walau belum semua kendaraan karena mencakup ribuan armada di Jakarta yang akan di KIR, dan belum mencapai 50% beres di Jakarta pergerakannya sudah ke Bandung”, ujar Hendric.
Ia berpendapat, di Bandung sosialisasi terlebih dulu jalan pada masyarakat dan pengusaha baru yang menjalankan taksi ini, jadi sekarang skemanya semakin lama semakin menumpuk, sosialisasi yang intens menimbulkan konsumen jadi terlalu banyak sehingga jadilah demo seperti saat ini.
Saat SII bertanya tentang solusi persaingan head to head taksi online dan taksi konvensional, Hendric menjelaskan, “Dalam persaingan, kita berbicara teknologi, dimana ada satu pelayanan dan keamanan serta konsumen merasa nyaman, konsumen tinggal klik di aplikasi dan dalam radius kira-kira 1 km sopir sudah ke detect oleh konsumen dan konsumen di jemput. Jadi jika ingin bersaing, menurut saya yang konvensional sebaiknya berinovasi”, jelasnya.
Untuk Bandung, menurut Hendric, pihaknya akan menempuh langkah perijinan seperti halnya di Jakarta. “Tugas kami sebagai PPRI yang menaungi driver online dan tugas kami untuk menahan perusahaan aplikasi ini untuk jangan langsung masuk ke daerah terbaru seperti contohnya di Yogya dan Bali, walau Bali ada peraturan yang berbeda. Kita akan masuk untuk memproses perijinannya dulu agar rapih yang diharapkan tidak ada demo lagi”, tuturnya.
Hendric juga mendorong pemerintah khususnya di daerah untuk tidak diam, “Pemerintah serasa diam, karena selama masyarakat enak yaa jalan aja, tapi itu sebetulnya menimbulkan dampak pada perusahaan taksi konvensional, jadi persoalan itu harus dibereskan dan kepada driver konvensionalpun harus diberi pengertian”, harap Hendric. “Kami dari PPRI pada dasarnya ingin bekerjasama dengan pemerintah, bukan mau curi start dan lain sebagainya, disini kita mau sowan dan mau siapkan legalitas yang diperlukan di Bandung tapi kami harapkan respon yang cepat dari pemerintah karena perkembangan taksi online yang pesat di Bandung”, ucapnya.
Pihaknyapun berharap para pelaku bisnis dibidang transportasi ini tidak berujung pada gesekan, “pemerintah harus jeli dan responsif terkait perijinan kita”, pungkasnya.
Diketahuinya, di Bandung kebanyakan perusahaan rental yang jalan di jasa angkutan online ini, karena punya PT atau badan hukumnya sendiri. Namun menurutnya harus ditambah lagi dengan Undang-undang Gangguan (UUG) dari pemerintah sampai ke kemenhub serta legalitas sebagai penyelenggara aplikasi online, “Untuk hal itu PPRI sudah lengkap, jadi sudah siap jalan”, pungkasnya. (stanly)