Socratez Sofyan Yoman. Seorang Pendeta Membuat Suasana Keruh Situasi Papua Yang Damai.
SII. Jayapura– Pendeta Socratez Sofyan Yoman selaku Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua membuat suasana keruh saat ini. Saat Papua mulai tertata dan kesejahteraan meningkat, saat itu pula masyarakat Papua merasa aman dan mulai meninggalkan kebiasaan negatif dengan selalu menuduh bahwa Pemerintah Pusat tidak serius menyelesaikan masalah Papua. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat Papua mulai sadar dan mendukung kebijakan pemerintah untuk membangun Papua. Seperti yang dicanangkan kembali oleh Pemerintah dalam membangun Papua saat ini, menggunakan hati dan melalui pendekataan kesejahteraan.
Seperti Pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte yang mengatakan perjuangan politik Papua sudah final melalui dua fase masing-masing Pepera 1969 dan Otsus 2001, sehingga saatnya partisipasi seluruh masyarakat diperlukan untuk mendukung pemerintah.
Namun hal tersebut dibantah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Socratez Sofyan Yoman. Melalui Siaran Pers kepada Bintang Papua, Socratez mengatakan, pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte ini tak mewakili suara nurani, realitas dan pengalaman hidup orang asli Papua selama ini. Tapi suara ini mewakili orang asli Papua yang hati nurani, pikiran dan identitasnya sudah dilumpuhkan pemerintah Indonesia yang penuh dengan kebohongan selama 50 tahun.
Berbeda dengan salah satu pengurus DAP Nabire yang mengatakan, sesungguhnya Socratez lah yang tidak mewakili suara rakyat. “sudah jelas MRP itu mewakili rakyat, berarti bapak Vitalis Yumte sudah benar, dan pernyataan Socratez hanya memperkeruh suasana Papua saja” imbuhnya.
Sementara pernyataan Socratez yang mengatakan “Tak ada istilah final dalam kehidupan masyarakat, tapi selalu ada dinamika dan proses politik,” sembari menyampaikan contoh Papua sudah final dalam Indonesia melalui Pepera 1969, tapi mengapa ada Otsus 2001? Mengapa ada UP4B? Mengapa Presiden SBY mengutus dr. Farid Husein sebagai Utusan Khusus Presiden untuk masalah Papua? Tapi sayang semuanya itu gagal total. Sekarang ada rekayasa baru Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua. Apakah ini dimaksud masalah status politik Papua dalam Indonesia itu sudah final?
Salah satu generasi muda Papua Emus kogoya mengatakan, “pernyataan Socrates menunjukan bahwa beliau bukan politikus, yang dimaksud final bukan kebijakannya, tetapi status politik Papua-nya bahwa Papua secara sah merupakan bagian dari NKRI”. Jika saat ini ada kebijakan Otsus, UP4B dll, itu merupakan upaya percepatan pembangunan di Papua, imbuhnya.
Kebijakan pemerintah untuk terus meningkatkan pembangunan suatu daerah tidak hanya terjadi di Papua saja, sebut saja di Aceh dengan Qonunnya, di Yogyakarta tentang aturan kesultanan dan daerah-daerah Indonesia lainnya. Jadi perubahan kebijakan merupakan hasil monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan pembangunan di daerah tegas Emus.
Coba resapi pernyataan Socratez yang telah tersebar di media berikut ini “Akar persoalan Papua adalah status politik Papua dalam Indonesia yang belum tuntas sampai kini karena proses dimasuknya Papua kedalam Indonesia melalui cara-cara biadab, tak manusiawi dan penuh dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Orang asli Papua tak ada masa depan dalam Indonesia, karena Indonesia itu negara perampok dan perusak masa depan rakyat dan bangsa Papua. Tak ada yang harus dibanggakan dalam Indonesia,”.
Menurut beberapa mahasiswa Papua di Jakarta yang sedang menuntut Ilmu guna membangun Papua, sebut saja salah satunya Emilia Karubaga mengatakan bahwa pernyataan bapak Socratez tidak mencerminkan seorang Pendeta, namun cenderung mirip seorang provokator yang selalu memperkeruh suasana dengan bersembunyi di balik Agama. “sampai saat ini apa yang telah diperbuat bapak Socratez untuk rakyat Papua? jelas tidak ada. Semestinya beliau membuat sejuk hati umatnya bukan membuat panas macam kompor saja”.
Selain itu, bapak Socratez tidak mengerti politik, sudah jelas Papua merupakan bagian dari Indonesia dan telah di sahkan oleh negara-negara dunia melalui PBB. Kalau memang itu dianggap tidak sah, silahkan bapak Socratez ajukan gugatan di Mahkamah Internasional, tidak hanya bisa menghujat saja, tegas Emilia.
Masyarakat Papua kini menyadari bahwa terhambatnya pembangunan di Papua dikarenakan ulah segelintir orang saja seperti bapak Socratez sehingga membuat bodoh rakyat Papua. Namun terbukanya era globalisasi, rakyat Papua semakin paham bahwa Pemerintah Pusat telah serius membangun Papua, tetapi selalu ditutup-tutupi dalam publikasinya. Saatnya generasi muda Papua tinggalkan bisikan dan ajakan orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang selalu merugikan rakyat Papua, serta hanya untuk kepentingan pribadinya saja.
tim.SII