Penyanderaan 21 warga asing, termasuk 14 WNI, membuat pemerintah Filipina pusing tujuh keliling. Selain diburu tenggat waktu, negeri yang dipimpin Benigno Aquino II ini juga mendapatkan tekanan dari negara-negara di mana warga negaranya menjadi sandera.
Upaya pembebasan sempat menemui hambatan, di mana satu peleton pasukan elite yang diterjunkan malah dihabisi kelompok militan, bahkan ada yang dipenggal. Hingga kini, belum jelas nasib para sandera, apakah bisa dibebaskan atau tewas ditangan para penyadera.
Jauh sebelumnya, operasi pembebasan yang digelar pasukan Ranger pernah berakhir sukses. Kejadian itu berlangsung ketika Jepang menduduki wilayah Filipina, di mana banyak tentara Amerika Serikat ditawan di sebuah camp.
Penjara tersebut dibangun di Cabanatuan. Sempat digunakan sebagai lokasi pelatihan bagi tentara Filipina untuk melawan agresi militer Jepang, namun ketika negara kepulauan tersebut direbut, fungsinya diubah menjadi penjara.
Sebuah bangunan difungsikan sebagai rumah sakit, tapi tidak ada perawatan apapun di dalamnya, kecuali jika pasien tewas dengan sendiri akibat disentri dan malaria. Pengamanannya pun sangat ketat, di mana sekeliling penjara dipasang kawat duri, sejumlah bunker, dan empat menara penjaga.
Dengan luasnya yang hanya 25 hektare, camp ini menampung 8.000 tentara AS, serta sejumlah kecil tentara dan sipil dari negara lainnya. Jumlah ini berkurang ketika Jepang membawa paksa beberapa tawanan untuk dipekerjakan paksa untuk membangun gudang senjara, membongkar isi kapal dan memperbaiki landasan udara.
Setiap hari, para tawanan hanya menerima dua kali jam makan berupa nasi, terkadang ditambahkan buah-buahan, sop atau daging. Untuk menambah kadar gizi, tergadang para tawanan menyelundupkan makanan datau menyembunyikannya di dalam baju dalam saat dipekerjakan di luar penjara.
Meski hidup sebagai tawanan, mereka tetap memperhatikan kebersihan dan itupun mendapatkan izin dari Jepang. Mereka juga bisa bermain basket, ping pong hingga membawa buku, terkadang nonton bersama. Bahkan Jepang juga memberi izin kepada Palang Merah mendapatkan boks kecil berisi makanan, kopi atau rokok. Tawanan juga diberi keleluasaan mengirimkan kartu pos kepada keluarganya, mesi harus melalui sensor terlebih dahulu.
Namun, semua itu berubah ketika Jepang mulai mengalami kekalahan. Ribuan pasukan yang bertugas untuk menjaga ditarik, meninggalkan 500 tawanan perang dalam keadaan sakit, lemah atau cacat. Awal 1945, ditarik meninggalkan seluruh tawanan.
Sebelum pergi, mereka sempat mengancam akan membunuh seluruh tawanan jika nekart pergi, dan ancaman itu berhasil. Tak ada satupun orang yang berani keluar dari camp tersebut, meski beberapa kali mencuri-curi kesempatan untuk mengambil makanan dari orang Jepang.
Baru pada pertengahan Januarai, mereka kembali dijaga. Kedatangan itu membuat mereka dipenuhi ketakutan, bahkan berspekulasi bakal segera dieksekusi.
Berita pembunuhan terhadap tawanan perang oleh tentara Jepang seakan bukan lagi rahasia, bahkan diceritakan dari mulut ke mulut. Salah satu yang paling santer terdengar adalah pembunuhan terhadap 150 tentara AS yang ditawan dan dibunuh secara sadis. Seluruh pasukan yang tersisa dipaksa masuk ke dalam bunker, lalu tuangkan bensin lalu dibakar hidup-hidup.
Kabar itu menimbulkan amarah Jenderal Douglas MacArthur. AS kemudian membuat misi rahasia untuk menyelamatkan para tawanan. Salah satu lokasi yang disasar adalah Cabanatuan. Misi ini terbilang sangat mustahil karena dijaga sangat ketat.
Selama berhari-hari, rencana terus disusun hingga mendekati sempurna. MacArthur memutuskan untuk mengirim pasukan elite mereka, yakni Batalion ke-6 Ranger dan Alamo Scouts. Jumlahnya 133 prajurit, ratusan gerilyawan Filipuna juga diikutsertakan. Misi tersebut dilaksanakan pada 30 Januari 1945.
Dua hari sebelumnya, seluruh pasukan mendarat di Filipina sejak Subuh. Agar tak diketahui tentara Jepang, mereka memilih menjauhi kampung-kampung di sekitar kamp, dan menempuh perjalanan berputar. Pasukan gerilyawan juga membantu mereka dengan mengerahkan anjing dan ayam peliharaannya agar terus mengeluarkan suara.
Jelang tengah malam, penyerbuan pun dilakukan. Kedua belah pihak terlibat baku tembak, namun hanya dua tentara AS yang tewas lebih sedikit dari pasukan Jepang yang mencapai ratusan prajuritnya. Serbuan ini juga berhasil membuat empat unit tank Jepang tak bisa digunakan.
Setelah berhasil membebaskan seluruh tawanan, pasukan bergerak mundur dan mengambil jalur yang berbeda. Misi terlaksana dengan baik.
sumber : merdeka.com