Garut, sorotindonesia.com – Sebagai bangsa yang sangat heterogen, kontestasi politik di Indonesia harus dihadapkan dengan preferensi pemilih yang dilatarbelakangi faktor suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Kemajemukan ini menjadi suatu keniscayaan dan sekaligus tantangan karena proses politik yang demikian akan cenderung menghadirkan potensi konflik.
Dalam konteks inilah maka nilai-nilai kebangsaan memiliki peran penting agar dapat dipahami para pelaku politik baik ditingkat lokal maupun nasional. Nilai-nilai kebangsaan Indonesia, sejatinya bersumber dari empat konsensus dasar bangsa, yaitu Pancasila, UUD I945, NKRI dan Sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Nilai-nilai kebangsaan ini digali dari identitas dan jati diri bangsa sehingga cara pandang dan orientasi sikap yang ditunjukkan akan selalu memedomani substansi yang terkandung dari nilai-nilai tersebut. Indikasi terjadadinya segregasi politik mulai terlihat dari dinamika menjelang pilkada DKI Jakarta 2OI7 dan daerah lainnya betapa primordialisme telah hadir hadir secara nyata dalam proses pilkada.
Semakin menguatnya isu primordial dalam proses pilkada menunjukkan bahwa esensi nilai-nilai kebangsaan cenderung terabaikan, para aktor politik larut dalam kegaduhan politik, menyerang lawan politik dengan kampanye hitam dan pada akhirnya justru menciptakan jurang pemisah (segregasi) antar sesama anak bangsa.
Segregasi politik tercermin dari adanya persaingan elite politik lokal dan perebutan akses kekuasaan dengan menggunakan sentimen etnik. Segregasi politik sangat berpotensi berlanjut pasca pilkada. Segregasi politik berlatar belakang SARA sesungguhnya menegasikan esensi dari proses pilkada itu sendiri. Alih-alih beradu konsep, visi, misi dan program kerja antar calon kepala daerah, tahapan dalam pilkada lebih didominasi kegaduhan, polemik, dan hal-hal yang kurang substantif. Padahal kematangan demokrasi di suatu negara dapat dicermati dari pola preferensi pilihan politik warganya yang lebih mengedepankan program, atau manfaat apa yang diperoleh setelah calon tersebut terpilih.
Meminjam Pendapat Staf Lemhana RI Yopie Hambali, sulit untuk memastikan kontestasi politik akan dapat mempersatukan seluruh pelaku yang terlibat di dalamnya. Yang lebih mengkhawatirkan kata dia, ketika para calon kandidat sudah berupaya sedemikian rupa untuk mengedukasi tim sukses dan konstituennya, tetapi, gejolak di tingkat akar rumput agak sulit terkendali ketika isu-isu primordialisme kembali diangkat. Apalagi di era kebebasan mengakses beragam media seperti saat ini, publik cenderung menyerap informasi tanpa melakukan check and recheck sehing mudah tergiring opini dan akhirnya terprovokasi.
Politik yang berwawasan kebangsaan sejatinya akan mampu menghasilkan para pelaku politik dan calon pemimpin yang dapat menjadi teladan dan berkarakter negarawan. Mereka akan mampu berdiri di atas semua kepentingan dan perbedaan, serta memandang realitas kemajemukan sebagai identitas bangsa yang harus dikelola secara arif. (Baden Abdurachman)