Bila Tidak Ada KH Hasyim Asy’ari, Tidak Ada NKRI

oleh -
Gus Mus : Bila Tidak Ada KH Hasyim Asy'ari, Tidak Ada NKRI

sorotindonesia.com || Semarang, – Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, KH. Musthofa Bisri mengungkapkan, bila di Indonesia tidak ada pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy’ari, maka tidak akan pernah ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan tersebut disampaikannya dalam Lailatul Ijtima Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah yang digelar di PWNU Jateng, Jalan dr. Cipto No. 180, Kota Semarang, Selasa (29/1/2019), malam.

Lebih lanjut, Kiai yang dikenal sebagai budayawan ini mengungkapkan kisah pertemuannya dengan Oei Hong Djien, seorang Tionghoa, pemilik OHD Museum di dalam sebuah pameran lukisan, belum lama ini. Sebuah museum dengan koleksi lukisan para master dan berkelas. Menariknya, saat pameran tersebut terdapat lukisan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

“Lalu saya tanya, siapa ini?” tanya kiai yang lebih akrab disapa Gus Mus pada pemilik museum tersebut, “Dia mengatakan, kalau tidak ada orang ini (K.H. Hasyim Asy’ari), tidak ada NKRI,” ungkapnya.

Jawaban tersebut membuat Gus Mus heran. Pasalnya, fakta tersebut pada umumnya hanya diketahui oleh warga NU yang mempelajari sejarah NU.

“Kalau yang mengatakan orang NU, saya tidak heran, tapi yang mengatakan ini seorang singkek (istilah untuk etnis Tionghoa yang kental. red),” ujarnya.

Gus Mus mengingatkan, NU sebagai sebuah organisasi massa keagamaan yang didirikan oleh para Ulama dari kalangan pengasuh pesantren, saat ini mengalami banyak ujian. Salah satunya, menghilangkan pengaruh Kiai terhadap umatnya.

“NU yang didirikan oleh para kiai pesantren, sekarang ini sudah mulai dikacaukan dengan cara tidak menghormati kiainya dan membuat kiai sendiri, atau bahkan memfitnah,” ujarnya.

Menurut Gus Mus, kiai NU yang berasal dari pesantren diyakini memiliki ilmu agama yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, sebagai bukti, Gus Mus menerangkan tentang ilmu agama para kiai tersebut dapat dipertangungjawabkan dari adanya mata rantai atau silsilah keguruan (sanad) yang sampai pada Nabi Muhammad.

Selain itu, Gus Mus menjelaskan gramatika bahasa Arab yang tidak bisa diselesaikan dalam penerjemahan. Karena itu kitab-kitab klasik atau yang sering disebut kitab kuning sebagai produk Ulama terdahulu bisa digunakan sebagai panduan praktis tentang agama Islam atau sebagai pedoman umat.

“Mereka (orang yang gemar menyalahkan) tidak tahu itu. Mereka pikir para Ulama tidak menggunakan al Qur’an,” tandasnya.

Gus Mus menuturkan, Ulama memandang umat dengan pandangan kasih sayang, di mana pada umumnya tidak mempunyai kemampuan dalam menafsirkan al Qur’an, “Ini wujud cinta kasih para Ulama pada umatnya. Karena Ulama sebagai pewaris Nabi, dan puncaknya kasih sayang ada pada Nabi,” tegasnya.

Diakhir tausyiyah, Gus Mus berpesan untuk tetap dan yakin dalam NU, “Saya minta, yang belum di NU masuklah ke NU, yang sudah masuk NU, mantaplah di NU,” pesannya.

Lailatul Ijtima dibuka dengan pembacaan Maulid Nabi Muhammad, dilanjutkan Mujahadah yang dipimpin K.H. Ahmad Hadlor Ihsan, jajaran syuriah PWNU Jateng sekaligus pengasuh PP Al Ishlah, Mangkang Kulon, Tugu, Kota Semarang. (arh)

 

Comments

comments