Bengawan Solo makin kritis

oleh -
Bengawan Solo makin kritis

Bengawan Solo, riwayatmu kini….itulah sepenggal syair lagu keroncong yang diciptakan sang maestro, Gesang. Syair lagu tersebut begitu tersohor sama seperti penggubahnya dan tentu bengawannya. Di masa lalu, Bengawan Solo menjadi sarana transportasi andalan. Namun konsidinya sekarang memprihatinkan.

Tak hanya sampah dan limbah kimia cair yang bisa membuat petaka masyarakat yang dialirinya. Namun saat curah hujan tinggi terjadi, banjir bandang tak hanya menyengsarakan warga Solo dan sekitarnya. Masyarakat di sepanjang tepian aliran sungai terpanjang di dunia itu ikut menderita. Semua akibat ulah manusia yang tak bisa menjaganya, selain tentu saja akibat peristiwa alam yang tak bisa ditolak.

Pencemaran air di Bengawan Solo sangat memprihatinkan. Limbah domestik rumah tangga menjadi penyumbang terbesar pencemaran. Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Tengah di lima titik, pada tahun 2013 lalu menyebutkan bahwa limbah domestik menyumbang hampir 80 persen dari total pencemaran. Limbah tersebut sebagian besar berasal dari rumah tangga.

(Baca : http://m.merdeka.com/peristiwa/pencemaran-di-bengawan-solo-memprihatinkan.html).

“Limbah dari rumah tangga sangat besar di Bengawan Solo. Seperti air cucian, industri nonformal dan juga pemakaian bahan kimia untuk keperluan pertanian. Sisanya disumbang oleh limbah dari rumah sakit, hotel dan industri besar,” ujar Kepala (BLH) Jawa Tengah, Agus Sriyanto.

Menurut Agus, limbah domestik tersebut menjadi penyumbang bakteri Escherichia Coli (E. coli) terbesar ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Agus menambahkan, rumah tangga di delapan wilayah DAS Bengawan Solo (Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Solo, Karanganyar, Sragen dan Blora) menyumbang Chemical Oxygen Demand (COD) antara 11.036,30 meter kubik per hari hingga 24.974,42 meter kubik per hari.

Baca Juga:  The Papandayan Raih Penghargaaan Indonesia Leading Lifestyle Hotel 2021

“Septic tank juga menjadi sumber pencemar E.coli terbesar terhadap Bengawan Solo. Yakni dengan angka rata-rata 80,12. Kondisi itu yang membuat kami menetapkan Bengawan Solo sebatas sungai kelas II,” terangnya.

DPSP

Menurut Agus, pencemaran di Bengawan Solo tidak bisa diatasi oleh satu daerah saja. Diperlukan kerja sama antara pengelola wilayah delapan DAS tersebut. Terutama terkait inventarisasi industri penyumbang polutan, pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), pengawasan, sampai tindak lanjut kegiatan.

Banyaknya sampah di Sungai Bengawan Solo juga berakibat buruk pada produksi air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Solo. Sebagian sampah telah menyumbat pipa milik PDAM yang ada di dalam sungai. Sebagian lainnya bisa masuk dan akhirnya menyumbat mesin instalasi pengolahan air (IPA), di Sungai Bengawan Solo milik PDAM.

“Kondisinya memang kritis sudah kritis. Setiap harinya kami harus mengangkat sekitar 50 kilogram sampah. Timbunan sampah tersebut jelas sangat mengganggu proses produksi air bersih milik PDAM Solo,” ucap Kabid Produksi Solo, Joel Hartono, Kamis (14/4) lalu.

Joel mengatakan, sumbatan sampah sering mengakibatkan mesin penyedot rusak, hingga terbakar. Akibatnya, dalam setahun kerusakan dan penggantian komponen bisa sampai tiga hingga empat kali. Bahkan, tidak jarang PDAM terpaksa menghentikan produksi karena harus melakukan perbaikan.

‘Musim hujan seperti ini, gangguan sampah akan semakin terasa, karena volume sampahnya pasti juga meningkat. Kalau hanya rusak ya diperbaiki, biayanya sekitar Rp 15 juta. Tapi kalau komponen terbakar ya harus diganti, harganya Rp 50 juta,” ujar Joel.

Baca Juga:  Koordinator Kontingen Malamang Asal Murung Raya Kecewa Atas Sikap Juri

Ancaman tak hanya dari sampah, tetapi juga menghadapi limbah cair dari industri batik. Limbah berbahaya itu sebagian besar berasal dari Sungai Jenes, yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo.

“Jika dibiarkan, limbah yang semakin pekat pada musim kemarau itu akan mempengaruhi kualitas produksi air PDAM. Produksi air tetap bersih, tapi warnanya menjadi kekuningan sehingga tidak layak dijual ke pelanggan,” keluh Joel.

Joel menambahkan, dia setiap hari membutuhkan satu dump truk lumpur atau sekitar sekitar 3,5 meter kubik, buat mengikat polutan sebelum air sungai masuk instalasi pengolahan. Lumpur diambil dari Bendungan Colo, Sukoharjo, dengan biaya Rp 400 ribu per hari.

Saat ini, PDAM Solo memiliki dua instalasi pengolahan air (IPA) yang memanfaatkan aliran air Sungai Bengawan Solo. Yaitu di kawasan Jurug dan Jebres. IPA Jurug menghasilkan debit air seratus liter per detik. Sedangkan IPA Jebres memproduksi 50 liter per detik. Namun, air di sekitar kedua IPA itu banyak terdapat timbunan sampah serta tercemar limbah industri.

Direktur Utama PDAM Solo, Maryanto mengatakan, persoalan sampah di Sungai Bengawan Solo menjadi masalah PDAM yang sampai saat ini belum teratasi. Padahal, mereka akan menjadikan Sungai Bengawan Solo sebagai tumpuan produksi air minum. Dia meminta Pemkot Solo agar menerapkan sanksi yang tegas bagi pembuang sampah di sungai, seperti terutang dalam Perda Nomor 3/2010 tentang Pengelolaan Sampah.

sumber : merdeka.com

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.