Sarasehan Budaya Setu Wage, Keselarasan Agama dengan Budaya

oleh -

Semarang, – Budaya terus berkembang. Sebuah kebudayaan yang lestari akan memberikan harmonisasi tersendiri, terdapat keselarasan di mana agama berjalan seirama dengan budaya. Hal ini dapat kita perhatikan dari sejarah kejayaan Nusantara sebagaimana ulasan H Sunarso, SH, MH., atau di kalangan pemerhati budaya dikenal dengan Ki Ageng Pangreksa Budaya, dan Dr Widodo Brotosejati Dosen FBS Unnes dalam Sarasehan Budaya Setu Wage di Sanggar Pangreksa Budaya, Jalan Pringgodani ll Nomor 130, Desa Karang Geneng RT 3 RW 2 Kelurahan Sumurrejo Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, (14/4/2018).

“Salah setunggilipun Walisanga asli tanah jawi, injih menika Raden Sahid ingkang jejuluk Sunan Kalijaga. Utaminipun anggene syiar agami Sunan Kalijaga tansah angginaaken kabudayan (salah satu Walisanga asli berasal dari tanah jawa, ia lah yang bernama Raden Sahid yang dijuluki Sunan Kalijaga. Keistimewaannya dalam syiar agama, Sunan Kalijaga selalu menggunakan unsur-unsur dalam budaya-red).

Diterangkan, dalam beberapa serat babad tanah jawi (kitab sejarah Jawa) secara transenden dapat dipahami bahwasanya agama masuk dan memberikan pengaruh dalam perkembangan budaya sehingga kebudayaan sebuah daerah bisa lestari dan terus berkembang dengan adanya norma agama sebagaimana penyebaran dan perkembangan Islam di nusantara tanpa gesekan dan tanpa peperangan.

Menyambungkan nuansa agama dalam budaya juga diungkapkan oleh Dr Widodo Brotosejati dengan lantunan pangkur. Demikian isinya; Mingkar mingkuring angkara, Akarana karenan mardisiwi. Sinawung resmining kidung, Sinuba sinukarta. Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, Kang tumrap neng tanah jawi, agama ageming aji. Dikatakan, lirik pangkur tersebut semestinya sudah banyak diketahui orang tentang pentingnya seseorang untuk selalu belajar agar dapat menguasai ilmu luhur, “gula wentah kutha utawi umat” ungkapnya. Sebuah ilmu luhur yang mengelola dan membawa dampak positif bagi tatanan masyarakat kota atau umat, atau lebih dari itu sebuah proses penyerapan ilmu kesadaran tinggi atas dirinya dengan lingkungan dan Tuhannya, “agama ageming inkang aji” tegasnya (agama merupakan ibarat busana yang sangat berharga)

Lebih lanjut, ia menerangkan tentang paradigma kasta di mana brahmana sebagai golongan tertinggi disebabkan tingginya pekerti, dan kedekatannya pada Sang Pencipta, sementara Ksatria menjadi golongan selanjutnya karena jiwa keprawiran para negarawan dengan semangat patriotisme dalam menjaga rakyatnya. Sedangkan sudra sebagai rakyat yang pada umumnya dari bangsa petani dan pedagang yang dalam pandangan budaya lebih berorientasi pada keduniawian.

“Dahulu, Raja-raja yang sukses dalam kepemimpinannya selalu didampingi oleh pujangga-pujangga yang hebat,” ungkapnya. Dikatakan bahwa di masanya Pujangga merupakan golongan Brahmana yang pada umumnya hidup dengan selalu mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Melangitkan doa dan puja, menjalankan sesuatu untuk menyelaraskan diri dengan alam.

Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan oleh Widodo Brotosejati, Ki Ageng Pangreksa Budaya lebih menekankan bahwa bangsa ini sejatinya tidak mengenal kasta. Menurut ia, semakin religius seseorang maka semakim tinggi derajatnya. Hanya saja pada masa itu didominasi oleh kaum Brahmana. Hal ini, masih menurutnya dalam pandangan Islam dinyatakan kemuliaan seseorang berdasarkan ketaatannya pada Allah SWT.
Sarasehan, mengkaji budaya dalam iringan musik klenengan Sanggar Reksa Budaya yang melantunkan geguritan, dan langgam jawa yang merdu memecah hening suasana malam menjadi sebuah fenomena menarik. (sorotindonesia.com/arh)

H Sunarso, SH, MH., atau di kalangan pemerhati budaya dikenal dengan Ki Ageng Pangreksa Budaya, saat memberikan wejangan di acara Sarasehan Budaya Setu Wage
H Sunarso, SH, MH., atau di kalangan pemerhati budaya dikenal dengan Ki Ageng Pangreksa Budaya, saat memberikan wejangan di acara Sarasehan Budaya Setu Wage.

Comments

comments