Pemilu 2019, Kompleksitas Pelaksanaan Dan Upaya Penanganan

oleh -
Pemilu 2019, Kompleksitas Pelaksanaan Dan Upaya Penanganan

JATINANGOR,- Kalangan praktisi dan akademisi di bidang hukum, turut menyoroti penyelenggaraan pemilu pileg dan pilpres 2019 yang dilaksanakan secara serentak pada tanggal 17 April 2019 lalu, termasuk diantaranya proses penghitungan suara yang kini masih berjalan.

Tidak hanya dicernati oleh warga masyarakat di tanah air, pesta demokrasi di Indonesia kali ini pun ternyata cukup banyak menyedot perhatian masyarakat dunia.

Persoalan yang sedang berproses tersebut dituangkan dalam gelaran seminar dan workshop yang menghadirkan pembicara, antara lain Ali Nurdin, S.H, S.T, M.H., dari Ali Nurdin & Partners, Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H, LL.M, Ph.D., dari Universitas Padjadjaran serta Fritz Edward Siregar, S.H, LL.M, Ph.D., dari Bawaslu RI.

Seminar dan Workshop yang mengambil tema Pemilu 2019 Kompleksitas Pelaksanaan Dan Upaya Penanganan yang digelar selama dua hari ini dilaksanakan di Gedung Fakultas Hukum Unpad, Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Dikatakan oleh Ali Nurdin selaku praktisi hukum bahwa seminar ini menunjukkan kepedulian berbagai pihak terhadap proses pemilu di Indonesia yang terkesan ada upaya delegitimasi. “Kita harapkan dengan adanya diskusi ini apakah memang pemilu sekarang ini sebegitu bermasalahnya atau tidak,” ujarnya, Jumat (26/4/2019).

“Kita harus menjaga agar pemilu ini berjalan dengan baik, dan kalau ada berbagai macam permasalahan, kita punya lembaga berwenang untuk menyelesaikannya yaitu mahkamah konstitusi, sehingga permasalahan yang ada ya sudah biarkan mahkamah konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutusnya,” jelas Ali yang memandang proses demokrasi di Indonesia sudah semakin baik.

Begitupun, lanjut Ali, jika terjadi dugaan pelanggaran yang  dilakukan oleh penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, mekanismenya bisa diserahkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) untuk memeriksa dan mengurusnya.

“DKPP selama ini sudah terbukti punya integritas, berapa banyak penyelenggara pemilu yang melakukan kecurangan telah dipecat dan diberhentikan dengan tidak hormat,” tegasnya.

“Bahkan terakhir ada dari beberapa anggota KPU provinsi sampai diberhentikan. Artinya, terhadap dugaan pelanggaran itu, kita serahkan kepada lembaga yang berwenang, jika ada pelanggaran administrasi pemilu ya ke bawaslu, kalau ada pelanggaran kode etik ke DKPP, kalau ada pelanggaran yang menyangkut hasil pemilu termasuk prosesnya kita serahkan ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya lagi.

Fritz Edward Siregar pada kesempatan yang sama menyebutkan bahwa pihaknya tadi pada diskusi sudah menyampaikan apa yang sudah Bawaslu lakukan, termasuk proses pencegahan, pengawasan, penindakannya dan proses penyelesaian sengketa (pemilu), juga beberapa hal yang mungkin terkait pemilu 2019 yang masih menjadi PR kita.

“Ada PSU, lanjutan, dan susulan yang sudah berlangsung maupun yang akan berlangsung, dan juga jangan dilupakan masih ada proses rekapitulasi yang belum selesai, ada proses pemidanaan yang belum selesai, seperti politik uang, ada yang mencoblos lebih dari satu kali, ataupun kampanye di hari pencoblosan, itu juga masih proses dari bagian pemidanaan,” tambahnya.

Sampai sejauh ini, menurut Fritz, laporan pelanggaran pemilu yang diterima Bawaslu sudah mencapai 7.952 laporan.

Sementara salahsatu pembicara dalam seminar, Prof Susi Dwi Harijanti SH., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad mengatakan bahwa pemilu serentak ini berdasarkan keputusan MK.

“Undang-undang pemilu ini kan semacam kodefikasi dari tiga undang-undang yang berbeda, UU pileg, UU pilpres, UU penyelenggara pemilu. Dengan demikian, dikatakan sebagai undang-undang semacam kodefikasi, maka penyiapannya itu tidak mungkin dalam jangka waktu yang sebentar,” jelasnya.

Prof. Susi kembali menyoroti rentang waktu antara putusan MK dengan keluarnya UU Pemilu. “Putusan MK tahun 2013, tetapi UU Pemilu baru keluar tahun 2017. Ada rentang waktu empat tahun. KPU dan Bawaslu serta badan-badan lainnya hanya punya waktu yang sangat sempit ke Pemilu 2019, artinya hanya dua tahun kurang,” ucapnya.

“Apakah dengan perubahan yang sangat fundamental waktu sebegitu cukup? Apakah waktu yang wajar untuk menyelenggarakan pemilihan umum serentak seperti ini?,” tanyanya, miris.

“Jadi, menurut saya DPR seharusnya tidak bermain-main dalam membuat undang-undang. Dia tidak boleh terlalu banyak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan partai politiknya, tapi yang harus dia pertimbangkan kedepan adalah bagaimana menghasilkan Undang-undang terkait dengan pemilihan umum sebagai sarana demokrasi dan terjadinya perubahan atau peralihan kekuasaan secara damai,” sarannya.

“Ini kritik luar biasa bagi DPR, jangan kemudian bila terjadi kekacauan pemilihan umum ini nanti ditimpakan kepada KPU dan Bawaslu, ditimpakan ke DKPP misalnya, tapi DPR seakan-akan cuci tangan,” tegasnya.

“Permasalahan-permasalahan yang ada ini bisa saja terjadi karena mepetnya waktu persiapan pelaksanaan, pemilu” pungkasnya.[Cuya|St]

Comments

comments